Bitcoin Jatuh di Bawah US$100.000, Apa Penyebabnya?

GalaPos ID, Jakarta.
Harga Bitcoin kembali tertekan setelah anjlok ke bawah US$100.000, mengguncang salah satu perdagangan aset paling momentum-driven di pasar global.
Penurunan ini memicu pertanyaan besar di kalangan investor: apakah ini sekadar koreksi sementara atau sinyal awal penurunan yang lebih dalam?

Koreksi Bitcoin Makin Dalam, Analis Wanti-Wanti Potensi US$70.000

"Bitcoin kembali jatuh di bawah US$100.000—koreksi sehat atau sinyal bahaya besar bagi pasar kripto global?"

Baca juga:

Gala Poin:
1. Bitcoin merosot lebih dari 25% sejak rekor Oktober 2025, dipicu ketegangan geopolitik, pengetatan likuiditas, dan gelombang likuidasi posisi leverage.
2. Analis memperingatkan koreksi mungkin berlanjut, bahkan Bitcoin berpotensi menguji kembali level US$70.000 jika tekanan makro meningkat.
3. Pasar kripto memasuki fase baru yang sangat dipengaruhi likuiditas institusi dan kebijakan moneter, menjadikan Bitcoin semakin sensitif terhadap gejolak global.


Pada Jumat, 14 November 2025, Bitcoin melemah ke level di bawah US$95.000, menghapus hampir seluruh kenaikan yang dicatat sejak awal tahun.

Sepanjang 2025, aset kripto terbesar ini sempat menembus berbagai tonggak penting, termasuk rekor tertinggi sepanjang masa di atas US$126.000 pada 6 Oktober 2025, sebelum akhirnya merosot tajam beberapa hari kemudian.

Sejak puncak tersebut, Bitcoin telah kehilangan sekitar 25% nilainya, dan kini diperdagangkan di kisaran US$95.049.

Sejumlah analis menilai penurunan yang terjadi mengikuti dua fase: tekanan makroekonomi dan gelombang likuidasi paksa di pasar aset digital.

Baca juga:
Obat atau Jamu, Ampuh Atasi Pegal Linu?


Namun, sebagian investor jangka panjang menilai fondasi narasi Bitcoin sebagai aset digital tetap solid, terutama sebagai lindung nilai dari pelemahan mata uang, inflasi, dan ekspansi moneter jangka panjang.

Menurut CEO Hex Trust, Alessio Quaglini, titik balik terjadi pada 10 Oktober 2025 ketika ketegangan dagang Amerika Serikat (AS) dan China kembali memanas.

“Dalam beberapa hari berikutnya, terjadi likuidasi total yang menghapus miliaran dolar posisi leverage,” ujarnya. Ia menegaskan kondisi tersebut lebih merupakan “reset likuiditas” daripada hilangnya kepercayaan terhadap Bitcoin.

Tekanan juga melanda Ether, aset kripto terbesar kedua yang telah kehilangan lebih dari 35% sejak puncaknya pada Agustus 2025.

Meski tensi geopolitik mulai mereda, pasar kripto belum menemukan pijakan kuat untuk pulih. Head of Research Presto, Peter Chung, menjelaskan bahwa minimnya likuiditas sejak “crash 10/10” dan kekhawatiran terhadap siklus empat tahunan Bitcoin menjadi pemicu volatilitas ekstrem.

“Bahkan transaksi kecil dapat memicu pergerakan harga signifikan,” ungkapnya seperti dikutip CNBC Internasional, Senin, 17 November 2025.

Baca juga:
Tips Bangun Pagi dan Olahraga Tanpa Drama

Dari sisi makro, harapan pemangkasan suku bunga The Fed pada Desember 2025 memudar. Penutupan sementara pemerintahan AS yang menghentikan rilis data ekonomi turut memperburuk sentimen pasar.

Peneliti senior HashKey, Tim Sun, menilai kondisi makro yang ketat menekan aliran dana ETF. “Setelah menarik lebih dari US$100 miliar pasca persetujuan, kini arus masuk institusi melambat drastis dan modal mulai keluar,” jelasnya.

Beberapa analis memperkirakan tekanan harga masih berpotensi berlanjut.

“Kita harus realistis, koreksi ini mungkin belum berakhir. Jika pasar saham melemah, Bitcoin bisa saja menguji kembali level US$70.000,” beber Quaglini.

Baca juga:
Laporan Lengkap Kecelakaan BYD Atto di Tanjung Priok Terungkap

COO BTSE, Jeff Mei, sependapat. Menurutnya, perilaku Bitcoin masih menyerupai aset berisiko, sehingga tekanan dari valuasi saham-saham kecerdasan buatan (AI) yang diragukan dan ketidakpastian suku bunga bisa memicu penurunan lanjutan.

Meski demikian, banyak pengamat menilai kondisi saat ini jauh berbeda dengan krisis 2022. “Tak ada kredit macet, tak ada gelombang kebangkrutan, tak ada kegagalan sistemik,” tegas Quaglini.

Ia optimistis, begitu likuiditas global stabil, Bitcoin masih memiliki peluang menorehkan rekor baru dalam 12–18 bulan mendatang.

Chung menyarankan investor ritel menghindari perdagangan jangka pendek dan beralih pada strategi dollar-cost averaging (DCA).

Sementara Sun menilai pemulihan Bitcoin semakin bergantung pada pelonggaran likuiditas global, bukan semata sinyal teknikal.

Baca juga:
Jejak Alumni ISBI Aceh Jadi Panduan Mahasiswa Seni Teater Susun Proposal PKM

CEO Bitwise, Hunter Horsley, justru melihat level harga saat ini menarik bagi investor jangka panjang.

“Level sekarang bisa dilihat sebagai titik masuk yang masuk akal. Setup-nya cukup konstruktif,” ujarnya.

Sejak 2024–2025, pasar aset kripto global memasuki fase yang semakin dipengaruhi likuiditas institusi dan faktor makro dunia.

Persetujuan ETF Bitcoin di AS sempat mendorong lonjakan minat dari investor besar. Namun volatilitas tetap tinggi, didorong oleh dinamika geopolitik, perubahan kebijakan bank sentral, serta gejolak di pasar saham teknologi.

Baca juga:
Operasi SAR Majenang Diperkuat 21 Ekskavator dan 9 K-9

Di tengah siklus empat tahunan Bitcoin—yang lazim memicu euforia diikuti koreksi tajam—investor kini harus menghadapi tantangan tambahan berupa likuiditas menipis dan sentimen yang rapuh.

Kondisi ini membuat pasar kripto semakin sensitif terhadap guncangan eksternal, sekaligus menegaskan bahwa pergerakan Bitcoin kini kian erat terikat pada arus modal global dan kebijakan moneter utama dunia.

 

 

Baca juga:
Digital Storytelling Jadi Kunci, Novita Hardini Dorong Modernisasi Event Wisata

"Harga Bitcoin merosot ke bawah US$95.000 setelah mencapai rekor tertinggi pada Oktober 2025. Artikel ini mengulas penyebab kejatuhan, pandangan para analis, hingga kemungkinan arah pasar kripto dalam beberapa bulan ke depan."

#GalaPosID #MediaPublikasiIndonesia #Bitcoin #2025 #PasarKripto

Lebih baru Lebih lama

Nasional

نموذج الاتصال