Breaking News

Kisah Pilu Protes ke Penjara, Aksi Sawit Berujung Tuduhan Pidana

GalaPos ID, Bengkulu.
Kompor gas, panci, dan terpal. Barang-barang sederhana itu biasanya ditemukan di dapur rumah atau perkemahan warga. Tapi kini, mereka justru menjadi barang bukti dalam perkara hukum yang menjerat sepuluh warga Kedurang, Bengkulu.
Peralatan masak itu ikut disita polisi, bersanding dengan senjata tajam dan alat perusak dalam sebuah kasus yang menguras keadilan—konflik antara warga dan perusahaan sawit, PT Dinamika Selaras Jaya (DSJ).

Protes Sawit Berujung Tahanan: Warga Kedurang Terancam 10 Tahun Penjara
 

“Aksi protes membawa warga Kedurang masuk tahanan. Peralatan dapur menjadi barang bukti, sementara undang-undang darurat dan pasal perkebunan mengunci langkah.”

Baca juga:

Gala Poin:
1. 10 warga ditetapkan tersangka atas dugaan tindakan pidana dalam unjuk rasa di PT DSJ.
2. Barang bukti meliputi senjata tajam hingga peralatan memasak yang digunakan di lokasi aksi.
3. Warga dijerat dengan UU Darurat, UU Perkebunan, dan pasal-pasal KUHP dengan ancaman hingga 10 tahun penjara.


Apa yang bermula sebagai aksi damai menuntut kejelasan batas lahan dan hak atas tanah, kini berubah jadi mimpi buruk hukum bagi puluhan warga. Dari 44 orang yang diamankan oleh aparat Polres Kaur, 10 di antaranya resmi ditetapkan sebagai tersangka.

Mereka dijerat dengan tiga undang-undang sekaligus: UU Darurat No. 12 Tahun 1951, UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, dan pasal-pasal KUHP terkait kekerasan serta perusakan barang.

“Kami hanya ingin tanah kami kembali. Tapi sekarang, kami malah kehilangan lebih banyak: tanah, kebebasan, dan rasa aman,” ujar salah satu kerabat tersangka yang enggan disebutkan namanya, dengan mata berkaca-kaca.

Baca juga:
Tembok Longsor Saat Tidur, Ibu Selamatkan Bayinya

Konflik agraria memang bukan cerita baru di Indonesia. Namun, kasus di Kedurang menyoroti bagaimana suara warga bisa dengan cepat berubah menjadi jerat hukum—terutama ketika menyentuh kepentingan besar seperti perkebunan sawit.

“Sepuluh orang pendemo ditetapkan tersangka setelah penyidik menemukan unsur pidana, yakni penyalahgunaan senjata tajam dan pelanggaran UU Perkebunan,” jelas Waka Polres Kaur, Kompol Yosril Radiansyah, dalam konferensi pers pada 17 Juli 2025, lalu.

Barang bukti yang diamankan menimbulkan tanya di kalangan masyarakat sipil. Selain senjata tajam, turut disita juga kompor gas, panci, dan peralatan dapur lainnya. Semua dianggap bagian dari perencanaan dan pendudukan lahan yang melanggar hukum.

Warga Kedurang Dijerat 3 UU, Kompor & Panci Jadi Barang Bukti

Namun dari sisi warga, itu hanyalah perlengkapan bertahan hidup di lokasi aksi yang mereka sebut sebagai “wilayah adat yang dipertahankan”.

Aksi yang dimotori Forum Peduli Wilayah Kedurang (FPWK), Aliansi Selamatkan Bengkulu Selatan (ASBS), dan Gerakan Rakyat Pembela Tanah Adat (Garbeta) ini menuntut kejelasan hak atas tanah yang menurut mereka telah digarap secara turun-temurun sebelum perusahaan hadir.

Namun, langkah protes warga dijawab dengan pasal-pasal pidana. UU Darurat 1951 yang mengatur senjata tajam, misalnya, dianggap sudah tak relevan di era modern.

Baca juga:
Misteri Anak, Ridwan Kamil-Lisa Mariana Tes DNA


Tapi masih digunakan untuk menjerat masyarakat dalam konteks agraria. Kedurang bukan satu-satunya wilayah di Indonesia yang berkonflik dengan korporasi.

Namun kisah mereka adalah cermin bagi daerah-daerah lain yang menghadapi dilema serupa: antara mempertahankan tanah atau menghadapi risiko pidana.

Di balik jeruji besi tempat sepuluh warga kini ditahan, ada pertanyaan besar yang menggantung di langit Bengkulu: Siapa yang benar-benar memiliki tanah ini?

Dan siapa yang akan melindungi mereka yang memilih untuk bersuara?

Meski tekanan hukum menghimpit, keluarga para tersangka masih berharap pada keadilan.

Baca juga:
Optimalkan Pasar PON, Trenggalek Bisa Jadi Magnet Wisatawan


Mereka percaya bahwa suara masyarakat tak seharusnya dipenjara. Proses hukum tetap berjalan, tapi suara publik semakin kencang menuntut transparansi dan kebijaksanaan.

Apa yang terjadi di Kedurang bukan hanya cerita tentang sepuluh orang yang kini menghadapi ancaman 10 tahun penjara. Ini adalah kisah tentang bagaimana negara menyikapi aspirasi warganya—apakah dengan dialog, atau dengan dakwaan.

Di negeri yang menjunjung tinggi demokrasi, aksi protes seharusnya tidak serta-merta dibalas dengan pasal-pasal berat. Karena ketika suara warga dipidanakan, demokrasi mulai kehilangan maknanya.

Tuduhan terhadap mereka tidak ringan. Termasuk di antaranya adalah penyalahgunaan senjata tajam, perusakan barang, dan pelanggaran UU Perkebunan.

Baca juga:
Buka 5.000 Sumur, Uang Berputar Ratusan Miliar di Daerah


Para tersangka terdiri dari warga berbagai desa di Kecamatan Kedurang, bahkan ada yang berasal dari Kota Bengkulu.

Mereka dijerat dengan tiga undang-undang sekaligus: UU Darurat No. 12 Tahun 1951, UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, serta pasal-pasal KUHP tentang kekerasan dan perusakan.

Sementara itu, unjuk rasa sebelumnya dimotori oleh gabungan Forum Peduli Wilayah Kedurang (FPWK), Aliansi Selamatkan Bengkulu Selatan (ASBS), dan Gerakan Rakyat Pembela Tanah Adat (Garbeta).

Mereka menuntut kejelasan batas wilayah dan hak atas tanah terhadap perusahaan sawit tersebut.

Aksi Protes Berujung Pidana: Warga Kedurang Dijerat UU Perkebunan

Namun, pendekatan persuasif dari Gusril Pausi mengubah arah konflik. Gusril aktif berdialog dengan Kapolres Kaur, AKBP Yuriko Fernanda, serta tokoh masyarakat dan keluarga tahanan.

Hasilnya, kesepakatan damai dicapai. Kapolres menyetujui pembebasan dengan syarat: Bupati menjadi penjamin bahwa para tersangka tidak mengulangi tindakan yang mengganggu ketertiban.

“Para warga dan tokoh masyarakat telah sepakat menjaga kondusifitas dan tidak mengulangi perbuatan yang merugikan masyarakat maupun perusahaan,” ujar Bupati Gusril melalui sambungan telepon, Kamis, 7 Agustus 2025.

Baca juga:
Strategi Industri Nasional Harus Jadi Prioritas

Menurutnya, keputusan itu demi menjaga stabilitas keamanan daerah dan iklim investasi di Kabupaten Kaur.

“Langkah ini diambil demi menjaga situasi Kamtibmas di Kabupaten Kaur, sekaligus menciptakan iklim investasi yang kondusif,” ucapnya.

 

Baca juga:
Minyak Rakyat, Beniyanto: Harapan UMKM dan BUMD

“Unjuk rasa yang dimulai dari keresahan warga Kedurang berujung penahanan. Tuduhan pidana berat dijatuhkan, tetapi tidak semua warga menyerah dalam diam.”

#KonflikAgraria #AksiDipidanakan #JeratHukumRakyat #KeadilanUntukKedurang #GalaPosID #MediaPublikasiIndonesia

0 Komentar

Type and hit Enter to search

Close