GalaPos ID, Yogyakarta.
Di sebuah sudut tenang Padukuhan Grindang, Kalurahan Hargomulyo, Kapanewon Kokap, Kabupaten Kulonprogo, langkah sederhana seorang ibu rumah tangga justru membuka ruang diskusi besar: apakah selama ini kita terlalu terpaku pada komoditas konvensional hingga melupakan potensi lokal yang lebih menjanjikan?
![]() |
Foto Ilustrasi: Cabai Jawa dari Pekarangan: Solusi Ekonomi Rumah Tangga dan Harapan Petani Kecil |
“Di tengah krisis stabilitas harga komoditas dan sempitnya lahan produktif, seorang ibu rumah tangga di Kulonprogo justru membalik keadaan. Dari kebun samping rumah, ia memetik bukan hanya cabai—tapi harapan.”
Baca juga:
- Krisis Air Bondowoso: Masalah Lama, Solusi Tak Kunjung Datang
- Miris! Potret 280 Kelas Sekolah Rusak di Majalengka
- Pendidikan yang Terlupakan di SDN 3 Kutajaya
Gala Poin:
1. Cabai Jawa memiliki nilai ekonomi tinggi dan potensi besar untuk dibudidayakan di lahan kecil.
2. Usaha Sukma menjadi model pemberdayaan masyarakat yang menginspirasi petani lain.
3. Minimnya perhatian dari pemerintah terhadap komoditas alternatif bisa menjadi hambatan dalam pengembangan sektor pertanian berkelanjutan.
Adalah Sukma Rumekar Sakti, perempuan tangguh yang memutuskan memanfaatkan lahan kosong di sekitar rumahnya untuk membudidayakan cabai Jawa—tanaman rempah yang kian langka, namun justru bernilai ekonomis tinggi.
Mulai menanam sejak 2022, Sukma kini merawat lebih dari 250 pohon cabai Jawa di atas lahan seluas 2.500 meter persegi.
Dari kebun itu, ia mampu memanen sekitar 12 kilogram cabai kering setiap dua minggu.
Baca juga:
Kisah Pilu Protes ke Penjara, Aksi Sawit Berujung Tuduhan Pidana
Dengan harga jual yang pernah menyentuh Rp97.000 per kilogram, pendapatan dari kebun kecil ini bisa menjadi penopang ekonomi rumah tangga.
Bahkan, dalam bentuk basah, hasil panen bisa mencapai 36 kilogram sekali panen.
“Budidaya pohon cabai Jawa ini memiliki keunggulan yaitu harga stabil, umur tanamannya itu jangka panjang, jadi nanam sekali, panennya berulang kali... budidayanya sangat mudah dan modalnya tidak terlalu mahal jadi terjangkau,” tutur Sukma Rumekar Sakti.
![]() |
Foto: Sukma Rumekar Sakti tengah memilah bibit cabai jawa |
Namun, yang lebih menarik dari sekadar angka-angka adalah dampak sosialnya. Kebun cabai Jawa milik Sukma kini menjadi ruang belajar alternatif bagi warga sekitar dan petani dari berbagai daerah di Kulonprogo.
Mereka datang untuk melihat langsung cara budidaya tanaman rempah yang nyaris terlupakan ini.
Tidak seperti cabai rawit atau bawang merah yang sangat tergantung pada musim dan rentan fluktuasi harga, cabai Jawa justru menawarkan model pertanian berkelanjutan dengan risiko rendah.
Baca juga:
Ferrari F40 dan Filosofi Garis Tangan Seniman Jalanan
Tanaman ini hanya ditanam sekali, namun bisa dipanen rutin hingga 10–20 tahun lamanya.
Padahal, secara nasional, komoditas cabai Jawa masih belum masuk radar utama pertanian. Padahal permintaannya terus meningkat, terutama untuk industri jamu dan obat tradisional, dari skala rumahan hingga industri besar.
Mengapa potensi seperti ini belum menjadi perhatian serius pemerintah dan dinas terkait?
Baca juga:
Ironi Pendidikan di Tasikmalaya, Kelas Nyaris Runtuh
Mengapa edukasi dan dukungan terhadap tanaman seperti cabai Jawa masih sangat minim? Apakah ini sekadar kurang informasi, atau memang ada preferensi kebijakan yang terlalu tersentral pada komoditas populer?
Jika pemerintah daerah serius ingin mendorong kemandirian pangan dan ekonomi desa, contoh seperti yang dilakukan Sukma seharusnya tidak hanya dipuji, tapi direplikasi dan didukung kebijakannya. Budidaya cabai Jawa bukan hanya solusi rumah tangga, tapi potensi ekonomi alternatif di tengah lahan pertanian yang makin menyempit.
Baca juga:
Bondowoso Kekeringan, Warga Hidup dari 10 Liter Air
“Cabai Jawa yang tumbuh di kebun rumah bisa jadi jalan keluar dari ketergantungan pada komoditas mahal dan fluktuatif. Di tangan seorang ibu rumah tangga, potensi yang terabaikan ini kini menjelma menjadi ladang pengetahuan dan penghasilan.”
#GalaPosID #MediaPublikasiIndonesia #PetaniMandiri #EkonomiDesa #RempahLokalBangkit