Krisis Air Bondowoso: Masalah Lama, Solusi Tak Kunjung Datang

GalaPos ID, Jatim.
Kekeringan di Bondowoso bukan sekadar bencana alam—ia adalah kegagalan manusia yang diulang saban tahun tanpa perbaikan berarti.
Setiap musim kemarau, desa-desa yang sama kembali kesulitan air. Ribuan keluarga hanya bisa berharap pada truk tangki yang datang tak tentu waktu, membawa jatah 10 liter air bersih per rumah tangga.

Air Bersih Langka di Bondowoso, Warga Terpaksa Jalan Kaki ke Mata Air

“Musim kemarau datang setiap tahun. Tapi mengapa Bondowoso tetap tak siap? Mengapa air bersih tak kunjung mengalir ke desa-desa yang sama setiap tahun?”

Baca juga:

Gala Poin:
1. Krisis air di Bondowoso terjadi bukan hanya karena kemarau, tapi karena kegagalan perencanaan dan minimnya infrastruktur.
2. Pemerintah hanya mampu mengalokasikan sebagian kecil dari kebutuhan anggaran ideal.
3. Perubahan sistemik dan pembangunan jangka panjang sangat mendesak untuk mencegah krisis tahunan.


Angka yang memalukan untuk kebutuhan hidup paling dasar. Pemerintah menggelontorkan bantuan darurat, namun infrastruktur tetap minim, embung tak kunjung dibangun, dan sumur bor masih sebatas wacana.

Maka wajar bila publik bertanya: apakah Bondowoso sengaja dibiarkan haus karena tak dianggap strategis?

Atau memang sistem kita belum belajar bahwa air bukan cuma soal musim, tapi soal keadilan?

Baca juga:
CSR untuk Rakyat, Mengalir ke DPR dan Berubah Jadi Properti Mewah?”


Kekeringan yang melanda Bondowoso memperlihatkan lebih dari sekadar dampak musim kemarau. Ini adalah persoalan lama yang berulang karena kegagalan perencanaan dan pembangunan sistem air yang layak.

Pemerintah Kabupaten Bondowoso memang telah menetapkan status darurat kekeringan sejak Juli 2025.

Bantuan air bersih telah disalurkan ke desa-desa terdampak. Namun, bantuan darurat bukanlah solusi jangka panjang. 

BPBD Salurkan 140 Ribu Liter Air, Tapi Warga Bondowoso Masih Kesulitan

BPBD mengalokasikan anggaran Rp200 juta untuk distribusi air bersih. Padahal, kebutuhan idealnya mencapai Rp500 juta.

Kekurangan anggaran ini berpengaruh pada volume dan frekuensi distribusi. Warga pun hanya mendapat jatah 10 liter per pengiriman.

Tambahan dana dari BPBD Provinsi dan BNPB memang membantu, tetapi tak menyelesaikan akar masalah.

Baca juga:
Munjan di Persimpangan: Kaya Cumi, Murah Harga


Belum ada infrastruktur air yang tahan kemarau. Embung minim. Sumur bor belum tersedia merata.

Sementara itu, sistem pembangunan nasional dinilai terlalu berorientasi pada keuntungan ekonomi. Daerah seperti Bondowoso yang dianggap “tidak strategis” kerap diabaikan dalam perencanaan besar.

Beberapa pengamat menyebut bahwa kegagalan ini bukan semata tanggung jawab satu institusi, melainkan cermin dari sistem yang meminggirkan kebutuhan dasar rakyat.

Baca juga:
Konflik Warga vs PT DSJ, Bupati Kaur Jadi Penjamin Tahanan

Masyarakat juga didorong aktif berpartisipasi: mengusulkan pembuatan sumur bor, mengawasi distribusi air, dan mendorong transparansi anggaran.

Tanpa perubahan struktural, kekeringan di Bondowoso akan terus berulang setiap tahun—dan ribuan keluarga akan terus hidup tanpa air yang layak.

 

Baca juga:
Modus Pecah Paket, Proyek Rp 5,5 Miliar Jadi Ajang Korupsi

Kekeringan Bondowoso bukan sekadar fenomena alam. Ini akibat perencanaan buruk, anggaran minim, dan sistem pengelolaan air yang gagal menjangkau desa rawan. Pemerintah didesak untuk tidak hanya memberi bantuan sementara.”

#GalaPosID #MediaPublikasiIndonesia #SistemRusakAirLangka #KebijakanAirGagal #BondowosoDaruratAir

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال