GalaPos ID, Jakarta.
RUPSLB Garuda Indonesia pada 15 Oktober 2025 membawa perubahan besar: pergantian direktur utama, masuknya dua ekspatriat kelas dunia, serta perombakan manajemen makro. Namun di balik gebrakan itu, publik dan DPR menuntut transparansi atas efektivitas transformasi yang telah berkali-kali dijanjikan sejak 2021.
![]() |
| Restrukturisasi Garuda kembali diuji—direksi baru didorong wujudkan perubahan konkret demi pemulihan jangka menengah yang kredibel. Foto: Garuda Indonesia |
"Masuknya dua ekspatriat, suntikan modal Rp 23,9 triliun, dan pemotongan gaji direksi Garuda tampak seperti langkah besar. Namun di balik perubahan ini, banyak pertanyaan publik tentang transparansi, akuntabilitas, dan efektivitas restrukturisasi."
Baca juga:
- Garuda Rugi Rp2 Triliun Lebih, Tetty Paruntu Pertanyakan Efektivitas
- Rusli Habibie Desak PLN Genjot Elektrifikasi Indonesia Timur
- Korban Hilang Capai 553, Pencarian Hadapi Lumpur Mengering
Gala Poin:
1. RUPSLB menghadirkan ekspatriat dan pergantian direksi sebagai bagian dari strategi transformasi, namun akuntabilitas masih dipertanyakan.
2. Direksi dipotong gaji dan tantiem ditolak, namun efektivitas efisiensi masih jauh dari memadai.
3. Garuda menerima injeksi modal besar yang menuntut pengawasan ketat untuk menghindari siklus krisis berulang.
Presiden Prabowo meminta agar Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara) bisa mencari talenta terbaik termasuk berasal dari luar negeri.
"Saya sudah mengubah regulasinya, sekarang ekspatriat, non-Indonesia bisa memimpin BUMN kita. Jadi saya sangat bersemangat," kata Presiden Prabowo saat dialog bersama Chairman Forbes, Steve Forbes, di Jakarta, Rabu, 15 Oktober 2025.
Masuknya Ekspatriat: Solusi atau Sekadar Simbol?
Dua ekspatriat yang masuk jajaran direksi — Balagopal Kunduvara dan Neil Raymond Mills — membawa rekam jejak panjang di Singapore Airlines, Scandinavian Airlines, FlyDubai, hingga SpiceJet.
Langkah ini sejalan dengan pernyataan Presiden Prabowo Subianto.
Namun, kehadiran ekspatriat dalam BUMN bukan tanpa kritik. Publik mempertanyakan:
Apa target kinerja konkret yang harus dicapai para profesional asing ini?
Bagaimana mekanisme audit dan evaluasi independen?
Apakah ini strategi transformasi atau sekadar legitimasi kebijakan?
Pemotongan Gaji Direksi: Efisiensi atau Pesan Politik?
Baca juga:
Akses Aceh Tamiang Berangsur Pulih, Tantangan Lapangan Masih Berat
Direktur Utama baru, Glenny H. Kairupan, mengumumkan pemotongan 10 persen gaji direksi saat rapat dengan Komisi VI DPR, 1 Desember 2025.
“Saya tawarkan kepada para direksi… kalau kita potong gaji 10 persen, apakah setuju? Ternyata semuanya setuju,” ujarnya.
Glenny juga menolak pencairan tantiem.
“Garuda sedang rugi. Apa kata masyarakat kalau perusahaan sedang rugi kok bagi-bagi tantiem? Mohon maaf saya menolak,” kata Glenny.
Kebijakan ini dianggap sebagai sinyal bahwa Garuda mencoba mengurangi polarisasi publik—terutama karena anggaran negara sedang ketat.
Namun sejumlah ekonom mempertanyakan dampaknya terhadap kinerja operasional:
- Pemotongan gaji direksi tidak signifikan terhadap beban biaya Garuda.
- Penghematan yang lebih besar seharusnya menyasar struktur biaya internasional, kontrak jangka panjang, dan inefisiensi operasional.
![]() |
| Transformasi Garuda memasuki babak baru: DPR minta manajemen pastikan transparansi, governance kuat, dan hasil nyata bagi keberlanjutan perusahaan. Foto: Garuda Indonesia |
Modal Segar Rp 23,9 Triliun: Apakah Publik Akan Mendapat Laporan Akuntabilitas?
Danantara menyiapkan private placement senilai Rp 23,9 triliun bagi Garuda. Selain itu, pinjaman US$ 405 juta akan dikonversi menjadi saham.
Pertanyaan kritis muncul:
- Apakah modal ini benar-benar dialokasikan untuk pemulihan armada?
- Apakah ada jaminan tidak akan kembali terjadi siklus krisis?
- Bagaimana pengawasan DPR, BPK, dan Kemenkeu terhadap penggunaan dana publik?
Dalam lanskap maskapai nasional yang terus tertekan, publik menuntut kejelasan, bukan seremonial perubahan.
Baca juga:
Dampak Parah Banjir Padang, Enam Jembatan Rusak dan Krisis Air Bersih
Pergantian direksi Garuda Indonesia lewat RUPSLB 30 Juni 2025 dinilai sebagai titik krusial untuk menentukan masa depan maskapai pelat merah itu.
Anggota Komisi VI DPR RI, Christiany Eugenia Tetty Paruntu, mengingatkan bahwa direksi baru tidak boleh sekadar menjadi simbol perubahan, melainkan harus mampu mengeksekusi transformasi struktural secara transparan dan terukur.
Ia menilai kondisi Garuda masih jauh dari pulih. Pada semester I/2025, perusahaan mencatat rugi bersih Rp 2,33 triliun, tertekan kenaikan biaya avtur dan penurunan pendapatan 4,47% menjadi US$ 1,54 miliar.
“Situasi ini menuntut kepemimpinan yang kuat, berani mengambil keputusan, dan mampu melakukan perubahan struktural. Direksi baru harus memastikan efisiensi dan memperbaiki fondasi operasional perusahaan,” ujar Tetty, dalam keterangan yang diterima GalaPos ID, Selasa, 2 Desember 2025.
Baca juga:
Mie dan Pangsit Kandungan Tawas Berbahaya, Warga Bogor Diimbau Waspada
"Investigasi mendalam atas perombakan direksi Garuda Indonesia, masuknya ekspatriat, suntikan modal baru, dan kebijakan penghematan yang memicu pertanyaan publik mengenai akuntabilitas restrukturisasi BUMN."
#Garuda #ReformasiBUMN #Ekspatriat #GalaPosID #MediaPublikasiIndonesia

