GalaPos ID, Jakarta.
Di balik pujian pemerintah terhadap peran strategis UMKM, kondisi lapangan menunjukkan persoalan pelik yang terus berulang.
UMKM memang menjadi penyerap tenaga kerja terbesar dan penyokong ekonomi nasional, tetapi tantangan struktural yang mereka hadapi masih sama dari tahun ke tahun.
![]() |
| Deputi Bidang Usaha Kecil Kementerian UMKM, Temmy Satya Permana |
"UMKM disebut tulang punggung ekonomi, namun berbagai data menunjukkan kondisi lapangan yang jauh dari ideal. Mengapa program demi program tak juga menutup jurang yang sama?"
Baca juga:
- UMKM Pintar Diluncurkan, Solusi Nyata atau Sekadar Janji Digital?
- Benarkah Kacang Turunkan Kolesterol? Ini Faktanya
- Si Manis yang Menyimpan Bahaya Kesehatan
Gala Poin:
1. UMKM masih dihadapkan pada masalah struktural: akses modal, literasi digital, inovasi produk rendah, dan hambatan perizinan.
2. Serbuan produk impor dan minimnya pemanfaatan FTA membuat UMKM kalah bersaing di pasar global.
3. Tanpa integrasi rantai pasok dan reformasi kebijakan yang lebih tajam, UMKM sulit naik kelas meski banyak program digital diluncurkan.
Akses permodalan tetap menjadi batu sandungan paling klasik. Meski berbagai lembaga keuangan menyatakan mendukung UMKM, penyaluran kredit masih jauh lebih rendah dibanding negara lain seperti Korea Selatan, yang dapat mencapai 80 persen.
Para pelaku UMKM masih bersandar pada sumber permodalan informal, yang sering kali lebih berisiko. Pada saat yang sama, rendahnya literasi digital dan pemanfaatan teknologi membuat UMKM tertinggal dalam peta persaingan regional.
Banyak UMKM masih ragu beralih ke digital karena minim pendampingan dan keterbatasan keterampilan dasar. Padahal transformasi digital menjadi syarat bertahan di pasar modern.
Kendala lain yang tak kalah serius adalah perizinan dan pajak. Proses perizinan yang rumit, ditambah minimnya kesadaran pajak, membuat banyak usaha tetap informal.
Baca juga:
Platform Digital Pantau Banjir Jakarta Real-Time yang Wajib Diketahui
Ketika tetap informal, mereka pun sulit mendapatkan akses pembiayaan formal. Persaingan pasar pun makin menekan. Lonjakan produk impor murah, terutama dari Tiongkok, membuat banyak UMKM kalah bersaing pada lini harga maupun volume.
Kesempatan memanfaatkan perjanjian perdagangan bebas (FTA) nyaris tak tersentuh karena rendahnya literasi ekspor dan standar produk. Inovasi produk yang stagnan juga menghambat daya saing UMKM.
Banyak pelaku usaha terjebak pada kategori yang sama dari tahun ke tahun—kuliner ringan, batik, atau oleh-oleh—tanpa berani masuk ke sektor bernilai tambah tinggi seperti farmasi, teknologi, dan garmen modern.
Selain itu, minimnya integrasi rantai pasok membuat UMKM bekerja sendiri-sendiri.
| Inovasi seorang ibu rumah tangga (IRT) di Jombang Jawa Timur (Jatim) konsisten berjuang agar cemilan tradisional rengginang tetap bertahan dan makin disukai masyarakat. Baca disini: Rengginag |
Mulai produksi, pemasaran, hingga branding dilakukan tanpa dukungan ekosistem industri yang kuat. Model bisnis seperti ini menyulitkan UMKM untuk tumbuh dan bertahan di pasar global.
Kondisi ini menegaskan bahwa dukungan terhadap UMKM tidak bisa lagi berhenti pada peluncuran program pelatihan atau platform digital.
Yang dibutuhkan adalah reformasi struktural—akses modal inklusif, pendampingan berkelanjutan, integrasi rantai pasok, hingga kebijakan proteksi selektif terhadap produk lokal.
Baca juga:
Mengulik Potensi Buah Langsat dalam Skin Care
"Artikel ini mengulas tantangan struktural UMKM Indonesia: akses modal minim, rendahnya literasi digital, serbuan produk impor, hingga lemahnya integrasi rantai pasok. Sebuah realitas yang kontras dengan retorika dukungan terhadap UMKM."
#UMKMIndonesia #Ekonomi #Digital #GalaPosID #MediaPublikasiIndonesia
