GalaPos ID, Jakarta.
Klaim bahwa berbicara positif pada diri sendiri dapat mengurangi stres hingga 50% dan meningkatkan performa, seperti yang disebutkan berasal dari Carnegie Mellon University, kerap dijadikan senjata ampuh para pegiat self-help.
Artikel ini menelisik efektivitas nyata berbicara pada diri sendiri dengan kacamata neurosains dan psikologi kognitif.
"Di tengah banjir konten self-help yang menjanjikan transformasi hidup lewat afirmasi, benarkah sekadar mengucapkan "Saya bisa" sudah cukup mengubah nasib? Ataukah ini hanya efek plasebo yang diperjualbelikan?"
Baca juga:
- MotoGP Mandalika 2025, Tiket Murah untuk Masyarakat Lokal NTB
- Pahami Kesehatan Ginjal, Ini Langkah Strategis yang Diperlukan
- PPP Gelar Muktamar X, Aklamasi Mardiono Hingga Kericuhan Internal
Gala Poin:
1. Kontekstualisasi Bukti Ilmiah: Klaim manfaat afirmasi perlu dilihat secara kritis, memahami bahwa hasil penelitian seringkali ideal dan tidak serta-merta berlaku sama untuk semua orang dalam segala situasi.
2. Mengidentifikasi Batasan: Afirmasi positif bukan solusi ajaib. Artikel ini menekankan bahwa efektivitasnya terbatas dan sangat bergantung pada faktor seperti realisme pernyataan dan keselarasan dengan tindakan.
3. Mengingatkan Potensi Risiko: Penggunaan afirmasi yang tidak tepat, terutama yang mengabaikan emosi negatif, berisiko memicu toxic positivity dan menghambat penyelesaian masalah yang sebenarnya.
GalaPosID merasa perlu untuk mengonfirmasi dan mengontekstualisasikan klaim besar ini.
Pertanyaan mendasarnya adalah: Apakah afirmasi positif adalah alat psikologis yang kuat, ataukah sekadar strategi komersial yang memanfaatkan kebutuhan manusia akan solusi instan?
Memang, terdapat badan penelitian yang mendukung manfaat self-talk positif. Prinsip di baliknya, neuroplastisitas, menunjukkan otak dapat berubah berdasarkan pengalaman dan pola pikir.
Namun, klaim pengurangan stres 50% perlu dilihat dengan skeptisisme.
Baca juga:
Razia Tempat Hiburan Malam, 18 Pengunjung Ditertibkan
Angka yang spesifik seperti itu seringkali berasal dari kondisi laboratorium yang terkontrol, bukan jaminan hasil di kehidupan nyata yang kompleks.
"Kata-kata membentuk cara kita berpikir, merasa, dan bertindak," tulis artikel tersebut. Pernyataan ini mengandung kebenaran, tetapi juga penyederhanaan. Afirmasi bukan mantra ajaib.
Efektivitasnya sangat bergantung pada:
1. Kredibilitas bagi yang mengucapkan. Mengatakan "Saya orang sukses" ketika sedang dililit utang justru bisa memicu konflik kognitif dan perasaan menjadi penipu.
2. Kedekatan dengan realitas. Afirmasi seperti "Saya sedang belajar dan berkembang" lebih mudah diterima otak daripada klaim besar yang jauh dari kenyataan.
3. Konsistensi dan tindakan. Afirmasi tanpa disertai tindakan kongkrit hanyalah lamunan.
Kapan Afirmasi Bisa Berbahaya?
Pendekatan kritis juga harus menyoroti potensi bahaya. Memaksakan pikiran positif tanpa mengakui dan memproses emosi negatif dapat berujung pada toxic positivity—penekanan emosi yang justru tidak sehat.
Dalam beberapa kasus, afirmasi yang tidak realistis dapat membuat seseorang mengabaikan masalah serius yang membutuhkan solusi praktis, bukan sekadar ucapan positif.
Baca juga:
Keracunan Massal MBG, Siapa Yang Bertanggung Jawab
"Afirmasi positif diklaim mampu mengurangi stres hingga 50%. Namun, seberapa kuat bukti ilmiah di balik klaim tersebut? Artikel ini menelisik efektivitas nyata berbicara pada diri sendiri dengan kacamata neurosains dan psikologi kognitif."
#GalaPosID #MediaPublikasiIndonesia #Psikologi #SelfHelp #MentalHealth