GalaPos ID, Yogyakarta.
Di tengah hiruk pikuk pentas seni, Teater Braille datang membawa perspektif berbeda di Festival Minikita 2025. Mereka tidak meminta empati karena disabilitas, mereka mengajak berpikir lewat estetika keterasingan.
Apa jadinya jika teater tak lagi bicara soal panggung, tapi tentang pengalaman yang menyentuh sisi terdalam manusia?
"Mengangkat realitas kaum terpinggirkan, Teater Braille tampil dengan pendekatan artistik yang tak hanya tentang disabilitas, tapi tentang manusia."
Baca juga:Gala Poin:
- Perselisihan Pemuda di Bandar Rahmat Berujung Rusaknya Kantor Desa
- Skandal Batu Bara Bengkulu, Penyitaan Aset Mewah Dimulai
- Kisah Tragis di Balik Nyeri Sendi
1. Teater Braille menampilkan estetika keterasingan tanpa menonjolkan isu disabilitas secara literal.
2. Inkubasi Teater memberi ruang dan waktu yang cukup bagi seniman untuk memperdalam karyanya.
3. Dialog antara seniman dan penonton memperkuat makna pertunjukan dan menjembatani pemahaman.
“Kami menerima temen-temen dari Kelompok Teater Braille, karena mereka menarik. Mereka membawakan satu estetika tertentu, bagaimana mereka ingin sejak awal ingin membicarakan keterasingan,” ujar Yuda Wira Jaya, sang sutradara.
Yuda menegaskan, kelompok ini tidak hanya menonjolkan status disabilitas, melainkan menghadirkan berbagai refleksi manusiawi dalam karya.
Dalam lakon “Ruang Tunggu”, tiga aktor tampil dengan karakter kuat, menyampaikan kegelisahan dan perenungan akan eksistensi, penerimaan, dan harapan.
Baca juga:
Keracunan MBG, Alternatif Kantin Sekolah Lebih Aman
Pementasan ini bukan tentang kasihan, tapi tentang meruntuhkan stereotip. Proses panjang menuju pentas juga menjadi catatan penting.
Dalam program Inkubasi Teater Yogyakarta, tiap kelompok menjalani masa inkubasi selama sebulan untuk memperdalam materi dan teknik.
Setelah itu, barulah mereka tampil di panggung terbuka seperti di Sakatoya Collective Space, Bantul. Diskusi pasca pertunjukan pun menjadi ruang refleksi dua arah antara seniman dan penonton.
Di sinilah jembatan empati dibangun bukan karena belas kasihan, melainkan karena pengalaman bersama.
Festival Minikita yang telah dua kali digelar ini makin mempertegas misinya membuka ruang bagi kelompok teater alternatif, termasuk dari komunitas disabilitas. Di sinilah publik diajak tak hanya menonton, tapi memahami.
Baca juga:Obat Alergi Inovatif atau Ilusi Aman?
"Apa jadinya jika teater tak lagi bicara soal panggung, tapi tentang pengalaman yang menyentuh sisi terdalam manusia? Di Festival Minikita 2025, Teater Braille tampil tanpa ingin dikasihani. Mereka tidak menjual cerita disabilitas, mereka menantang kita untuk berpikir ulang tentang keterasingan."