GalaPos ID, Jatim.
Di usia yang telah menembus satu abad, tubuhnya mungkin telah renta, tapi ingatan sejarah itu masih lekat dalam dinding rumah kayu yang sederhana.
Bukan di medan laga, bukan pula dalam catatan resmi negara—kisah Mbah Jirah lahir dari dapur, dari piring-piring yang disodorkan kepada para gerilyawan, termasuk Sang Panglima Besar.
![]() |
Foto: Mbah Jirah, Perempuan 105 Tahun yang Pernah Menyuapi Jenderal Sudirman |
“Bukan di medan perang, bukan pula di ruang diplomasi—kisah perjuangan ini lahir dari dapur sederhana seorang perempuan desa. Di usia 105 tahun, Mbah Jirah tetap menjadi pengingat bahwa kemerdekaan tak hanya milik mereka yang bersenjata.”
Baca juga:
- Ide Nasionalisasi BCA, Eko: Ini Bom Penghancur Ekonomi
- Sabu 6 Kg di Bandara SSK II, Dua Penumpang Ditangkap
- Trauma Mendalam Korban Cinta Gelap Dunia Maya
Gala Poin:
1. Mbah Jirah adalah saksi hidup perjuangan Jenderal Sudirman saat gerilya di Nganjuk.
2. Ia melayani kebutuhan pasukan gerilya dari rumahnya yang menjadi markas persinggahan.
3. Kini, rumah dan peninggalan sejarahnya masih terawat, namun perhatian negara minim.
Pada momen peringatan 80 tahun kemerdekaan ini, sosoknya kembali menyeruak: sebagai pengingat bahwa kemerdekaan Indonesia juga ditenun oleh tangan-tangan sunyi yang tak pernah menuntut jasa.
Saat bangsa Indonesia merayakan Hari Ulang Tahun ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia, sebuah nama kembali mengemuka dari sudut desa: Mbah Jirah, perempuan 105 tahun yang menjadi saksi hidup perjuangan Jenderal Sudirman.
Dahulu, pada Jumat Kliwon, Januari 1949, pasukan gerilya Jenderal Sudirman—sebanyak 77 orang—singgah di Desa Bajulan, Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk, Provinsi Jawa Timur (Jatim).
Baca juga:
Pantai Suwuk dan Hilangnya Rasa Aman
Di sanalah, pemimpin besar itu bermalam, bermusyawarah, dan beribadah.
Rumah sederhana milik gadis desa berusia 20 tahun kala itu—Mbah Jirah—menjadi tempat persinggahan Panglima Besar.
“Mbah Jirah adalah simbol rakyat yang ikut berjuang, meski tanpa senjata. Negara harus hadir memberi perhatian, karena tanpa rakyat, perjuangan para pahlawan tak akan pernah berarti,” tegas Wahyu Priyo Djatmiko, Direktur LKHPI, kepada wartawan, Minggu, 17 Agustus 2025.
Selama masa singgah itu, Mbah Jirah melayani kebutuhan makan dan logistik sehari-hari pasukan gerilya dengan ketulusan.
![]() |
Foto: 105 Tahun Mbah Jirah: Penjaga Sunyi Jejak Sudirman |
Ia tidak pernah memegang senjata, namun keberaniannya menopang perjuangan tak bisa diabaikan.
Hingga kini, rumah itu masih menyimpan jejak sejarah: tempat musyawarah, tempat wudhu Jenderal Sudirman, dan sudut-sudut yang tetap terawat.
Dari generasi ke generasi, cerita itu diwariskan—sebuah pengingat sunyi bahwa kemerdekaan Indonesia juga dibangun oleh tangan-tangan rakyat kecil. Kini, di usia senjanya, Mbah Jirah sulit diajak berkomunikasi.
Tapi kehadirannya menjadi cermin sejarah yang hidup, menuntut negara untuk tidak melupakan mereka yang berjuang dalam diam.
Baca juga:
Rekor Baru di Bursa, Efek Strategi atau Sentimen Sesaat?
“Dari rumah bambu di Desa Bajulan, Mbah Jirah menjadi bagian tak tercatat dalam buku sejarah. Di masa perang gerilya, ia memberi makan dan tempat istirahat bagi Panglima Besar Jenderal Sudirman. Kini, ia menjadi saksi bisu perjuangan tanpa pamrih.”
#GalaPosID #MediaPublikasiIndonesia #JejakGerilya #PahlawanTanpaTandaJasa #MbahJirah