GalaPos ID, Jakarta.
Ketika sebuah film berjudul Merah Putih: One for All dengan kualitas visual dan naratif yang diragukan bisa masuk slot strategis 14 Agustus di jaringan bioskop terbesar negeri ini, publik patut bertanya: siapa yang bermain di balik layar?
Di tengah keterbatasan akses bagi sineas muda dan independen, mengapa justru film medioker mendapat panggung utama? Ini bukan soal selera—ini soal kekuasaan, simbol negara, dan wajah asli oligarki budaya.
![]() |
Merah Putih One for All (dok. Perfiki Kreasindo/Merah Putih One for All |
“Filmnya gagal, tapi tetap tayang di panggung utama. Bukan karena bagus, tapi karena benderanya Merah Putih. Ini bukan sekadar film—ini strategi kuasa.”
Baca juga:
- Diterjang Ombak Laut Cilacap, Dua Nelayan Selamat dari Maut
- Kesejahteraan Petani Kunci Swasembada Gula Nasional
- Produksi Minyak Melejit, Golkar: Jangan Bangga, Percepat Proyek Migas Hulu
Gala Poin:
1. Film dengan judul "Merah Putih" digunakan untuk mendapatkan legitimasi, akses, dan bahkan kekebalan dari kritik publik, meskipun kualitasnya lemah.
2. Akses tayang di bioskop ditentukan oleh jejaring kekuasaan, bukan oleh kualitas karya. Ini memperlihatkan bagaimana oligarki budaya bekerja dalam industri kreatif.
3. Negara terlihat membiarkan simbol nasional dipakai dalam proyek swasta tanpa transparansi, dan tidak memberi klarifikasi saat publik mempertanyakan kualitas maupun dukungannya.
Ada Oligarki Budaya di Balik Layar Merah Putih: One for All?
Oleh: Emanuel Odo, Ketua PMKRI Cabang Jakarta Timur
Di republik ini, bendera bisa menjadi paspor. Ketika sebuah film menempelkan “Merah Putih” di judulnya, ia tidak hanya meminjam simbol negara, tetapi ia menuntut hak istimewa yang datang bersama simbol itu, yaitu akses politik, distribusi, bahkan imunitas dari kritik.
Merah Putih: One for All adalah studi kasus yang sempurna. Sebuah film yang visualnya tertinggal, narasinya tipis, tapi bisa menembus slot tayang 14 Agustus di jaringan bioskop terbesar negeri ini. Ini bukan sekadar keberuntungan.
Dalam industri film yang slot layarnya terbatas, sebuah karya buruk bisa tayang karena tiga faktor: uang, relasi, dan legitimasi simbolik.
Produser film ini bukan nama asing. Kalian bisa cek dari berbagai informasi. Ia veteran industri film, terhubung ke jejaring perfilman nasional, dan punya sejarah panjang di badan-badan strategis.
Pengalaman ini seharusnya berarti kualitas artistik, tetapi di Indonesia, pengalaman juga berarti memahami jalur pintas kekuasaan.
Akses bukan cuma soal modal finansial, tapi modal sosial untuk mengetahui siapa yang menguasai jaringan bioskop, siapa di kementerian yang bisa memberi audiensi, siapa di lingkaran media yang bisa memoles narasi.
Di sini kita melihat bagaimana “kapital budaya” Bourdieu bekerja: bukan untuk menciptakan karya bermutu, tapi untuk mengamankan panggung.
Dukungan yang Jadi Beban
Awalnya, foto dan narasi dukungan pemerintah beredar. Wakil Menteri Ekonomi Kreatif bertemu tim produksi, memberi masukan teknis.
Dalam politik media, ini adalah endorsement. Chomsky menyebutnya manufacturing consent yaitu legitimasi visual yang mengondisikan publik untuk percaya bahwa negara ada di belakang proyek ini.
Masalahnya, ketika filmnya dihantam netizen, narasi menjadi berbalik, “Tidak ada dana, tidak ada fasilitas.” Bantahan ini mungkin benar, tapi secara politik ia mencerminkan kekacauan komunikasi dan absennya akuntabilitas.
Jika memang tidak ada dana publik, mengapa pemerintah membiarkan simbol negara dipinjam tanpa klarifikasi sejak awal?
Kemudian kita semua tahu bahwa itu Bioskop bukan lembaga amal. Mereka tayangkan film yang menguntungkan. Tapi slot 14 Agustus bukan sembarang slot. Ia adalah panggung utama di musim kemerdekaan. Banyak film antre untuk mendapatkannya, dan biasanya hanya proyek dengan potensi penonton atau dukungan kuat yang lolos.
Jika karya yang secara teknis lemah bisa masuk, itu menunjukkan bahwa distribusi film di Indonesia bukan meritokrasi. Ada “oligarki layar” pada segelintir nama dan jaringan yang bisa memastikan karya mereka tetap dapat panggung, meskipun kualitasnya tidak memenuhi standar.
Jika proyek ini murni swasta, inefisiensinya merugikan investor. Tapi jika ada fasilitas atau dana publik, bahkan sekadar akses legitimasi negara, maka inefisiensi ini menjadi isu politik.
Kita berbicara soal opportunity cost: sumber daya yang bisa digunakan untuk membangun ekosistem animasi (inkubator, pelatihan, kolaborasi dengan kampus) malah habis untuk proyek simbolik sekali pakai. Nasionalisme jadi kosmetik, sementara infrastruktur kreatif tidak bertambah.
Nasionalisme Sebagai Alat Kekuasaan
Mengkritik film ini dianggap berisiko: siapa mau dicap “tidak cinta bangsa” karena mengomentari karya berjudul Merah Putih? Tapi inilah fungsi simbol publik bagi kekuasaan, ia bukan hanya alat persatuan, tapi juga alat pengendalian wacana.
Chomsky mengingatkan bahwa simbol sering digunakan untuk membungkam kritik. Di sini, bendera menjadi tameng bagi mediokritas, dan ironisnya, bendera itulah yang kini memicu kemarahan publik.
Kasus Merah Putih: One for All bukan sekadar soal selera atau kualitas animasi. Ini cermin dari oligarki budaya yaitu sekelompok kecil produser yang menguasai akses ke dana, simbol, dan distribusi, sehingga bisa meloloskan karya buruk ke panggung utama.
Rocky Gerung mungkin akan menutup dengan pertanyaan: Apakah pengalaman panjang di dunia film membuat orang pandai membuat film, atau hanya pandai membuat alasan?
Dan pertanyaan itu, di republik ini, jawabannya sering lebih politis daripada artistik. Merah Putih: One for All adalah pelajaran bahwa nasionalisme tidak bisa menutupi kekurangan artistik. Bendera bukan lisensi untuk mediokritas!
Baca juga:
Dramatis! Disbud vs Biringkanaya Berakhir Tanpa Gol
"Tulisan ini mengupas tajam bagaimana film Merah Putih: One for All menjadi bukti nyata bahwa layar bioskop di Indonesia tak sepenuhnya dikendalikan oleh kualitas, tapi oleh kekuasaan dan simbol. Ketika akses ke distribusi hanya dimiliki segelintir orang, publik perlu tahu: nasionalisme bisa disulap jadi tameng untuk mediokritas."
#OligarkiBudaya #MerahPutihDipinjam #LayarTanpaMeritokrasi #NasionalismeKosmetik #FilmUntukSiapa