GalaPos ID, Kendari.
Suara pintu yang didobrak pada Minggu pagi itu memecah keheningan di sebuah penginapan di Kecamatan Kadia, Kendari. Seorang pria berinisial ER (40) tampak kebingungan, sementara seorang wanita, W (22), bersembunyi di kamar mandi hanya dengan handuk pink.
"Ketika cinta tak lagi tentang hati, tetapi notifikasi. Ketika kesetiaan diuji bukan oleh jarak, tapi oleh 'status online.' Di era digital, perselingkuhan tak lagi dilakukan di lorong gelap hotel — ia tumbuh di ruang chat, di balik emoji, dan di sela 'ketidaksengajaan' mengirim pesan."
Baca juga:
- Jeramba Ayek Kinang, Dari Surga Wisata Menjadi Titik Rawan Bencana
- UMPP Kukuhkan 152 Lulusan, Fokus pada Inklusi dan Digitalisasi
- Kisah Cinta Ikonik Akan Berakhir? Raisa Resmi Gugat Hamish Daud
Gala Poin:
1. Perselingkuhan di era digital meningkat karena kombinasi ketidakpuasan emosional, rasa bosan, dan kemudahan teknologi.
2. Fenomena ini mencerminkan krisis komunikasi dan keintiman dalam keluarga modern.
3. Dampaknya bukan hanya moral, tetapi juga psikologis — terutama pada anak dan pasangan yang ditinggalkan.
Tak lama, dua orang masuk bersamaan — IK (28), suami W, dan F (23), istri ER. Mereka datang bukan untuk menuduh, tetapi memastikan kebenaran yang selama ini menghantui pikiran: pasangan mereka berselingkuh.
“Saya pantau dari malam pakai drone,” ujar IK, pada Rabu, 22 Oktober 2025.
Ia tak salah. Malam sebelumnya, mobil hitam milik ER terekam berhenti di depan kamar penginapan yang disewa istrinya. Bukti itu cukup kuat untuk mengubah kecurigaan menjadi kepastian — dan rumah tangga menjadi reruntuhan.
Cermin Retak di Balik Skandal
Kasus ini bukan yang pertama. Dalam sebulan terakhir, kepolisian di Kendari mencatat peningkatan laporan kekerasan dan penggerebekan akibat perselingkuhan. Namun, di balik angka itu, tersimpan kisah lebih dalam: retaknya komunikasi dan matinya keintiman emosional dalam banyak rumah tangga muda.
Baca juga:
Kecelakaan, Mobil Dinas Diduga Gunakan Pelat Hitam Palsu
Fenomena ini bukan sekadar “godaan.” Perselingkuhan adalah gejala dari hubungan yang sudah kehilangan makna. Banyak pasangan merasa hidup bersama, tapi tidak lagi terhubung secara batin.
Bukan cinta yang hilang, tapi kedekatan emosional yang terputus. Seseorang bisa makan bersama tiap malam, tapi tidak benar-benar berbicara. Dari situlah celah muncul — ruang kosong yang perlahan diisi oleh orang lain.
Teknologi, Ruang Baru untuk Mengkhianati
Dulu, perselingkuhan terjadi lewat surat, tatapan di kantor, atau pertemuan rahasia. Kini, cukup dengan pesan di WhatsApp atau DM Instagram.
Aplikasi kencan seperti Tinder, Telegram Secret Chat, bahkan Google Docs pernah ditemukan digunakan sebagai “ruang rahasia” untuk komunikasi terlarang.
“Sekarang modusnya lebih canggih. Ada yang ganti nama kontak jadi ‘Bos Kantor’, ada yang pakai akun palsu untuk jaga komunikasi,” ujar seorang penyidik Polresta Kendari yang menangani kasus serupa.
Dalam beberapa kasus, pelaku bahkan memanfaatkan fitur “arsip chat” atau “mode hilang otomatis.”
Perselingkuhan kini berwajah modern: sunyi, bersih, tanpa jejak, tapi tetap menyakitkan.
![]() |
| Viral, sosok mahasiswi Julia Ester Treviska Kairupan dengan Pejabat BPTD Sulut, yang diberitakan GalaPos ID, pada 27 Juli 2024. |
Motif di Balik Selingkuh
Para ahli menyebut ada tiga motif utama di balik perselingkuhan modern:
- Adanya Kebutuhan Emosional yang Tak Terpenuhi.
Saat pasangan tak lagi menjadi tempat berbagi, seseorang mencari pelarian yang mau mendengar. Dari curhat ringan, tumbuhlah kedekatan.
“Bukan nafsu dulu yang datang, tapi rasa dimengerti.”
- Ketidakpuasan Fisik dan Rasa Bosan.
Hubungan yang monoton membuat sebagian orang mencari sensasi baru. “Rasa penasaran itu bisa lebih kuat dari rasa bersalah,” tambahnya.
- Kesempatan dan Validasi Diri.
Di era media sosial, perhatian kecil — like, komentar, pesan — bisa terasa seperti pengakuan eksistensi.
"Itu yang membuat orang waras bisa memilih selingkuh.”
Baca juga:
Jalan Provinsi Empat Lawang Putus Total, Transportasi Lumpuh
Dalam istilah psikologi, kondisi ini disebut “dopamine trap” — seseorang menjadi kecanduan sensasi emosional baru, meski tahu konsekuensinya fatal.
Ketika Moral dan Teknologi Bertabrakan
Perselingkuhan kini tak hanya melibatkan dua hati, tapi juga algoritma. Seseorang bisa menemukan “teman curhat” hanya dengan mengetik “halo” di media sosial. Keintiman terbentuk bukan karena kedekatan fisik, tapi karena koneksi digital yang intens.
Namun, ketika rasa bersalah datang, semuanya sudah terlambat.
“Banyak pelaku yang akhirnya menyesal, tapi mereka tidak tahu bagaimana berhenti.”
Menurut data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 4 dari 10 kasus kekerasan rumah tangga di Indonesia berawal dari dugaan perselingkuhan — baik nyata maupun digital.
Dampak Sosial: Luka yang Tak Selalu Terlihat
Bagi banyak pasangan, pengkhianatan bukan sekadar soal hubungan, tetapi soal harga diri dan kepercayaan.
Di Kendari, dua anak kecil kini tumbuh tanpa rumah tangga utuh karena satu keputusan salah di kamar penginapan.
Trauma akibat perselingkuhan bisa menimbulkan gangguan stres pascatrauma (PTSD), depresi, dan krisis identitas bagi anak yang menyaksikan pertengkaran orang tuanya.
“Perselingkuhan bukan cuma merusak dua orang. Ia menghancurkan ekosistem kecil bernama keluarga.”
![]() |
| Aksi penggerebekan tak biasa terjadi di sebuah penginapan di Kelurahan Wawowanggu, Kecamatan Kadia, Kota Kendari, Minggu, 19 Oktober 2025, sekitar pukul 11.00 Wita. Berita: Selingkuh Kendari |
Refleksi Publik: Kita Hidup di Era yang Gatal untuk Membandingkan
Di media sosial, orang mudah merasa hidupnya kurang bahagia dibanding orang lain. Ketidakpuasan kecil dalam rumah tangga bisa membesar saat dibandingkan dengan “kesempurnaan” palsu di layar ponsel.
Kita hidup di masa di mana “scroll” lebih sering dilakukan daripada “bicara.” Kita saling melihat, tapi tak saling mendengarkan.
Terlepas dari hal itu, Psikolog klinis Pingkan Rumondor menyebut definisi selingkuh dimulai dari ketertarikan individu.
"Definisi selingkuh menurut saya adalah adanya ketertarikan dan kedekatan, baik secara fisik, emosional, atau seksual dengan pihak di luar hubungan yang dirahasiakan dari pasangan resmi, dan melanggar komitmen hubungan," kata Pingkan, pada Kamis, 5 Juni 2025, kepada CNNIndonesia.
Dia berkata tidak semua kedekatan dengan rekan kerja lawan jenis otomatis tergolong selingkuh.
Baca juga:
Tanah Impian Berujung Tipu Daya, Skandal Kavling Ilegal Batam
Menurutnya, jika pasangan mengetahui dan menyetujui hubungan tersebut serta tidak ada pelanggaran komitmen, maka hal itu bisa jadi sebatas persahabatan.
"Kedekatan emosional dengan rekan kerja, yang diketahui dan disetujui pasangan karena masih sejalan dengan komitmen, belum tentu selingkuh. Bahkan dalam beberapa kasus hubungan terbuka atau poliamori yang disepakati, kontak fisik dengan pihak ketiga pun belum tentu dikategorikan sebagai pengkhianatan," tambahnya.
Sebuah hubungan menurut dia baru dikatakan perselingkuhan jika ada rahasia atau interaksi yang dirahasiakan dari pasangan. Inilah yang dinamakan cheating atau selingkuh karena mencoba bermain dari belakang.
Baca juga:
Alternatif Makanan Manis untuk Camilan Sehat
Penutup
Perselingkuhan bukan hanya tentang moral yang lemah, tapi juga tentang hubungan yang kehilangan arah.
Dan mungkin, sebagaimana kata seorang sosiolog.
“Orang waras bisa memilih selingkuh bukan karena hilang akal, tapi karena kehilangan kendali atas kesepian yang tak pernah diakui.”
Kesetiaan, pada akhirnya, bukan sekadar janji di pelaminan — tapi keputusan yang diulang setiap hari, bahkan ketika tidak ada yang melihat.
Baca juga:
Santri 14 Tahun Tenggelam di Irigasi Banyumas, Tim SAR Dikerahkan
"Perselingkuhan di era digital meningkat karena kombinasi ketidakpuasan emosional, rasa bosan, dan kemudahan teknologi. Fenomena ini mencerminkan krisis komunikasi dan keintiman dalam keluarga modern. Perselingkuhan di era digital meningkat karena kombinasi ketidakpuasan emosional, rasa bosan, dan kemudahan teknologi. Fenomena ini mencerminkan krisis komunikasi dan keintiman dalam keluarga modern."
#CintaDigital #FenomenaSelingkuh #KrisisKeluarga #GalaPosID #MediaPublikasiIndonesia


.jpg)