GalaPos ID, Bandung.
Dengan inisiatif "Rereongan Seribu Rupiah", Gubernur Dedi Mulyadi menggugah kesadaran ASN Jawa Barat untuk membantu rakyat miskin. Tapi di balik semangat mulia ini, muncul pertanyaan mendasar: mengapa bantuan pendidikan, kesehatan, dan hukum harus bergantung pada rereongan ASN?
"Ketika negara tak hadir sepenuhnya, rakyat mencari sandaran ke rumah pribadi pejabat. Kini, Rp1.000 dari ASN diharap bisa menambal kebocoran sistem. Tapi apakah rereongan cukup menggantikan keadilan struktural?"
Baca juga:
- Evakuasi Tragedi Ponpes Al-Khoziny, Korban Bertambah
- Yoghurt dan Pisang, Duo Penjaga Tekanan Darah
- Babinsa Karang Anyar Ciptakan Ketahanan Pangan
Gala Poin:
1. Program rereongan menjadi solusi alternatif untuk layanan dasar yang belum optimal dijalankan negara.
2. Dedi Mulyadi mengajak ASN membantu rakyat kecil lewat donasi Rp1.000 per hari.
3. Gerakan ini sekaligus menyoroti lemahnya sistem jaminan publik seperti BPJS dan pendidikan gratis.
“Selama ini layanan pengaduan itu ada di rumah pribadi saya di Lembur Pakuan,” ungkap Dedi, menggambarkan bagaimana birokrasi formal belum cukup menjawab kebutuhan mendesak warga.
Lewat rereongan, ASN diinstruksikan menyumbang Rp1.000 per hari. Bantuan itu akan disalurkan kepada:
Warga yang sakit dan tak mampu berobat
Anak yang terancam putus sekolah
Masyarakat yang terjerat perkara hukum tanpa akses bantuan hukum
Baca juga:
Tak Disadari, Kebiasaan Sehari-hari Tingkatkan Hipertensi
Namun wajar bila publik bertanya: ke mana fungsi sistem sosial negara?
BPJS Kesehatan, Dana BOS, bantuan hukum pro bono — semua itu sudah menjadi mandat negara. Bila rereongan menjadi solusi utama, bisa jadi ini refleksi bahwa program-program tersebut gagal menjangkau warga.
Dedi sendiri mengakui bahwa sistem negara belum sepenuhnya hadir. Maka rereongan bukan hanya soal uang kecil, tapi juga pengakuan bahwa negara harus diperbaiki dari dalam.
“Kita ingin meniru kearifan lokal seperti rereongan, jimpitan, atau kas RT/RW yang sudah terbukti ampuh di masyarakat bawah,” katanya.
Namun apakah benar semangat gotong royong bisa menggantikan struktur kebijakan publik yang semestinya bekerja sistematis dan berkeadilan?
Program rereongan kini menjadi refleksi — antara solidaritas ASN dan kealpaan negara dalam menjamin layanan dasar.
Baca juga:
Ironi Pendidikan Maros, Kekurangan Guru dan Jalan Rusak di Pelosok
"Program rereongan ala Dedi Mulyadi menjadi eksperimen sosial di tubuh birokrasi. Tapi di balik semangat gotong royong, muncul pertanyaan: apakah ini solusi dari kegagalan sistem layanan publik yang semestinya sudah dijamin negara?"
#DedyMulyadi #Rereongan #Jabar #GalaPosID #MediaPublikasiIndonesia
.jpg)
.jpg)