Indonesia di PBB, Visi Prabowo dan Jejak Sejarah Bung Karno

GalaPos ID, Jakarta.
Forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) selalu lebih dari sekadar ruang diplomasi antarnegara.
Ia adalah panggung simbolik global—tempat di mana sebuah bangsa menyatakan eksistensinya dan menyampaikan nilai-nilai yang dipegangnya. Bagi Indonesia, panggung itu pernah menjadi milik Bung Karno, dan kini, giliran Prabowo Subianto mengukir jejaknya.

Astacita dan Pidato Bung Karno: Arah Baru Diplomasi Merah Putih

"Enam dekade setelah Bung Karno mengguncang PBB dengan pidato "To Build the World Anew", dunia kembali melihat ke podium yang sama. Kali ini, Prabowo Subianto berdiri di sana, membawa semangat yang sama, namun dengan tantangan yang jauh berbeda."

Baca juga:

Gala Poin:
1. Pidato Bung Karno di PBB menjadi warisan diplomatik yang menekankan nilai kemanusiaan, solidaritas, dan keadilan global.
2. Prabowo Subianto membawa misi kontemporer melalui Astacita, namun tetap berpijak pada prinsip universal Bung Karno.
3. Indonesia dinilai memiliki modal sejarah dan moral untuk menawarkan narasi alternatif dalam dinamika global yang kian kompleks. 


Pada 1960, Presiden pertama Indonesia, Soekarno, menyampaikan pidato berjudul "To Build the World Anew" di hadapan Majelis Umum PBB.

Sebuah pidato ikonik yang menyerukan pembaruan tatanan dunia berdasarkan keadilan, kesetaraan, dan solidaritas. “Diplomasi bukan sekadar urusan kepentingan, tapi berbasis nilai dan prinsip kemanusiaan,” kata Bung Karno saat itu.

Suara moral itu kini diabadikan oleh UNESCO sebagai Memory of the World—warisan dokumenter kelas dunia.

Baca juga:
Perjalanan Dramatis Timnas Futsal Indonesia di Four Nations 2025

“Bung Karno dengan pidato ikoniknya itu memberikan pembelajaran kepada dunia tentang Pancasila sebagai fondasi etis dan landasan moral yang universal,” tulis Teofilus Mian Parluhutan, Sekretaris Jenderal Front Marhaenis Indonesia, yang diterima redaksi, Senin, 22 September 2025.

Prabowo dan Estafet Diplomasi Kemanusiaan
Kini, giliran Prabowo Subianto berdiri di forum yang sama. Sebagai Menteri Pertahanan RI sekaligus Presiden terpilih, Prabowo membawa misi besar melalui konsep Astacita—delapan cita-cita besar Indonesia untuk menjawab krisis global mulai dari ketimpangan ekonomi, konflik geopolitik, hingga krisis iklim dan teknologi.

“Ia menghadapi ujian yang berbeda, namun benang merahnya tetap sama, bagaimana Indonesia dapat menegaskan suaranya di panggung dunia, tanpa tunduk pada tekanan kekuatan besar,” jelas Teofilus.

Diplomasi Prabowo dianggap sebagai bentuk penyesuaian terhadap tantangan zaman, namun tetap berpijak pada akar yang sama—nilai-nilai universal yang dulu dibawa oleh Bung Karno.

Obor Bung Karno di Tangan Prabowo: Diplomasi Nilai di Tengah Dunia yang Terbelah 

Warisan Moral, Bukan Sekadar Posisi Strategis
Indonesia bukan hanya sekadar “negara berkembang” dengan posisi geografis yang menguntungkan, tetapi memiliki modal diplomatik yang khas: warisan Sukarno dan nilai-nilai Pancasila.

“Indonesia memiliki bekal untuk lebih dari sekadar pemain lapisan kedua dalam panggung internasional,” ungkap Teofilus.
“Jika modal ini dikawinkan dengan visi kontemporer seperti Astacita, maka Indonesia bisa menawarkan jalan alternatif di tengah kebuntuan geopolitik.”

Baca juga:
Miris! Kasus Kekerasan Seksual Sahinge Tinggi

Jalan Tengah di Dunia yang Terbelah
Dalam dunia yang kini makin terbelah antara kekuatan besar dan kekuatan baru, Indonesia kembali dihadapkan pada dilema klasik: tunduk atau memimpin?

Diplomasi merah putih hari ini harus kembali membawa obor inspirasi: kerja sama, solidaritas, dan perdamaian. Bukan hanya menjadi pengikut arus geopolitik, tetapi penentu arah baru yang lebih adil.

“Diplomasi sejati adalah seni memadukan simbol, ide, dan moralitas agar suara sebuah bangsa terdengar dan dihormati,” tulis Teofilus dalam opininya.

 

Baca juga:
Menginap di Rumah Janda, Kapolsek di Kendal Dinonaktifkan

"Warisan diplomasi Bung Karno kembali menggema di forum dunia. Kini, Prabowo Subianto membawa semangat itu ke panggung PBB, menegaskan posisi Indonesia sebagai kekuatan moral dan penyeimbang global. Apakah Indonesia mampu menjawab tantangan baru dunia dengan prinsip lama yang tetap relevan?"

#DiplomasiMerahPutih #WarisanBungKarno #VisiAstacita #IndonesiaUntukDunia #SolidaritasGlobal #GalaPosID #MediaPublikasiIndonesia

 

 

 

Diplomasi Merah Putih: Warisan Bung Karno dan Misi Prabowo di Forum Dunia
Oleh: Teofilus Mian Parluhutan (Sekjend Front Marhaenis Indonesia)

Dari Sukarno ke Prabowo: Estafet Diplomasi Indonesia di Panggung Global


Panggung PBB selalu lebih dari sekadar forum diplomasi. Ia adalah panggung simbolik, tempat di mana sebuah bangsa menegaskan siapa dirinya di mata dunia.

Enam dekade lalu, Bung Karno berdiri di podium Perserikatan Bangsa-Bangsa, menatap dunia dengan mata penuh keyakinan dan suara yang bergemuruh dengan pidato “To Build the World Anew” (Membangun Dunia Kembali. Ia bukan hanya menyampaikan pidato diplomatik, tetapi menitipkan visi besar tatanan dunia yang adil. 

Sukarno hendak menegaskan bahwa Indonesia tidak hanya hadir sebagai bangsa baru, tetapi sebagai suara hati bagi negara-negara yang lama terpinggirkan. Keberanian moral yang telah menggumpal dalam semangat Konferensi Asia Afrika 1955. Sebuah panggilan jiwa agar dunia harus dibangun kembali di atas keadilan, kesetaraan, dan solidaritas.

Bung Karno dengan pidato ikoniknya itu memberikan pembelajaran kepada dunia tentang Pancasila sebagai fondasi etis dan landasan moral yang universal untuk tatanan dunia yang adil. Bung Karno mengajak dunia bahwa diplomasi bukan saja berbasis kepentingan belaka, tetapi berbasis nilai dan prinsip kemanusiaan. Nilai-nilai yang diasuh oleh semangat persaudaraan, kemanusiaan, dan perdamaian. Dalam hal ini Bung Karno pencetus metadiplomasi. Diplomasi berlandaskan nilai-nilai luhur dan visi besar tentang bagaimana seharusnya dunia dibangun. 

Pidato Bung Karno itu pada tahun 2023 ditetapkan PBB melalui UNESCO sebagai ‘Memory of the World’ (Warisan Arsip Dunia). Bung Karno memberikan jejak sejarah dan keteladanan moral dalam pergaulan internasional. Warisan Bung Karno ini menjadikan Indonesia memiliki modal diplomatik untuk memberikan tawaran alternatif untuk dunia yang adil dan setara. 

Kini, giliran Prabowo Subianto yang berdiri di forum yang sama, membawa Astacita, delapan cita-cita besar yang menjadi panduan Indonesia dalam menghadapi tantangan global modern seperti krisis supremasi, konflik geopolitik, ketimpangan ekonomi, krisis iklim, dan disrupsi teknologi. Ia menghadapi ujian yang berbeda, namun benang merahnya tetap sama, bagaimana Indonesia dapat menegaskan suaranya di panggung dunia, tanpa tunduk pada tekanan kekuatan besar.

Warisan Bung Karno mengingatkan kita bahwa diplomasi bukan sekadar urusan meja perundingan. Diplomasi sejati adalah seni memadukan simbol, ide, dan moralitas agar suara sebuah bangsa terdengar dan dihormati. Konferensi Asia-Afrika 1955 dan Gerakan Non-Blok adalah bukti konkret bagaimana Indonesia mampu menjadi jembatan bagi bangsa-bangsa yang ingin bebas dari dominasi. Kini, Prabowo membawa tongkat estafet itu, menyesuaikan bahasa diplomasi dengan konteks modern, namun tetap berpijak pada prinsip keadilan dan solidaritas global.


Tantangan hari ini memang berbeda. Dunia modern menghadapi konflik baru yang tidak selalu terlihat di peta, dominasi teknologi yang membentuk kekuatan baru, ketimpangan ekonomi yang mengancam stabilitas global, serta krisis supremasi dan ketidakpastikan global. Di tengah situasi itu, Indonesia harus tetap berdiri sebagai bangsa yang menawarkan narasi alternatif: diplomasi yang mengutamakan kemanusiaan, kerja sama, dan perdamaian, bukan semata kepentingan politik atau ekonomi jangka pendek. Diplomasi yang menghadirkan win-win solution dan dunia yang adil bukan terjebak dalam zero sum game.    

Indonesia memiliki bekal untuk lebih dari sekadar pemain lapisan kedua dalam panggung internasional. Indonesia memiliki modal besar seperti Pancasila, warisan Sukarno, dan posisi strategis sebagai jembatan dunia untuk berkiprah secara siginifikan dalam konstelasi global. 

Jika modal ini dikawinkan dengan visi kontemporer seperti Astacita, maka Indonesia bisa menawarkan jalan alternatif di tengah kebuntuan geopolitik. Terlebih Indonesia memiliki legitimasi sejarah untuk mewujudkan tatanan dunia yang berkeadilan. 

Dari warisan bung Karno hingga misi Prabowo dalam dinamika global terkini, ini adalah kesinambungan sejarah sebagai diplomasi merah putih yang berpijak pada nilai-nilai luhur dan universal, yakni keadilan, solidaritas, dan perdamaian abadi. Diplomasi yang membawa spirit perdamaian dan obor inspirasi yang menerangi di tengah gelapnya krisis global.

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال