GalaPos ID, Palestina.
Di Gaza, setiap kali seorang jurnalis gugur, satu cahaya padam dalam kegelapan informasi.
Anas al-Sharif, jurnalis Al Jazeera, menjadi satu lagi nama yang ditulis di atas tanah — bukan di halaman depan koran dunia, tapi di liang tak bernisan di depan Rumah Sakit al-Shifa, tempat ia dan tiga rekannya tewas dalam serangan roket Israel.
![]() |
Foto X: Mustafa2AlMomri |
“Di medan perang Gaza, kamera bukan lagi alat dokumentasi — tapi alasan dibunuh. Anas al-Sharif tahu risikonya, tapi ia memilih tetap meliput. Kini, jasadnya disambut tanah dan nyala perlawanan.”
Baca juga:
- AJI: Jurnalis Dibunuh Zionis, Genosida Informasi
- FSPPSN Merapat, Sarbumusi Bersiap Lawan SBSI
- Tragedi Sungai Gombong, Pemuda Tewas Tenggelam
Gala Poin:
1. Jurnalis Palestina terus menjadi korban kekerasan militer Israel yang dianggap sistematis.
2. Anas al-Sharif dan rekan-rekannya tewas dalam serangan langsung ke lokasi kerja mereka.
3. Kematian mereka menandai ancaman serius bagi kebebasan pers di zona konflik.
Bagi Anas, kamera bukan sekadar alat kerja, tapi bentuk perlawanan—dan untuk itu, nyawanya harus dibayar.
“Kutitipkan Palestina kepadamu,” adalah pesan terakhirnya, bukan sekadar kata-kata, melainkan amanat yang kini bergema di tengah sunyi dunia yang belum juga bertindak.
Baca juga:
Diserang Hoaks, Heni Sagara Ambil Langkah Hukum
Itulah pesan terakhir Anas al-Sharif, jurnalis Al Jazeera yang tewas bersama tiga rekannya akibat serangan roket Israel usai menghantam tenda mereka di depan Rumah Sakit al-Shifa.
Ratusan warga Gaza berjalan di antara reruntuhan, mengantar jenazah para jurnalis menuju pemakaman.
Tak ada nisan, hanya gundukan tanah dengan nama di selembar kertas. Dunia seolah diam, namun di Gaza, kematian jurnalis menjadi nyawa-nyawa yang menggantikan mikrofon.
Kementerian Luar Negeri Palestina menyebut Israel sebagai “pembunuh wartawan paling berbahaya di dunia.”
Lebih dari 230 jurnalis telah menjadi korban dalam konflik yang belum menunjukkan tanda mereda sejak Oktober 2023.
“Kebijakan kriminal Israel bertujuan membunuh semua saksi mata genosida yang mereka lakukan dan mengubur semua bukti kejahatan mereka,” tulis Kemlu Palestina.
Baca juga:
Sekolah Rakyat Dibangun, SDN Roboh Terlupakan?
Anas al-Sharif bukan satu-satunya. Bersamanya gugur pula Mohammed Qreiqeh, Ibrahim Zaher, dan Mohammed Noufal — semuanya bagian dari kru peliputan Al Jazeera.
Dunia jurnalistik Palestina dan dunia kembali kehilangan barisan terdepan mereka, justru saat suara mereka paling dibutuhkan. Kematian mereka bukan insiden acak.
Militer Israel dituduh sengaja menargetkan wartawan untuk menghapus dokumentasi kekejaman. Kemlu Palestina menyebut ini sebagai “pembersihan etnis jangka panjang dan sistematis.”
“Mereka adalah pahlawan yang seharusnya dihormati, bukan dihina,” tulis Kemlu Palestina.
Baca juga:
Saat Pendidikan Tergerus Longsor dan Banjir
“Kematian jurnalis Al Jazeera, Anas al-Sharif, dalam serangan militer Israel kembali menegaskan bahaya menjadi wartawan di Palestina. Warga Gaza dan komunitas jurnalis internasional menyerukan penghentian pembantaian dan perlindungan atas kebebasan pers.”
#JurnalisGaza #AnasAlSharif #KebebasanPers #SaveJournalists #GalaPosID #MediaPublikasiIndonesia