GalaPos ID, Jakarta.
Dua dekade perdamaian Aceh ternyata belum mampu melahirkan generasi yang mengenal jati dirinya. Di balik narasi damai pasca-MoU Helsinki 2005, anak-anak muda Aceh kini justru terombang-ambing antara identitas lokal yang tergerus dan budaya asing yang dinilai menyesatkan.
Seniman nasional Rasyidin Wiqmaroe yang juga berasal dari Aceh turut menyuarakan kondisi ujung barat Indonesia tersebut.
![]() |
Foto: Rasyidin Wiqmaroe |
"Jika perdamaian tidak melahirkan kesadaran budaya, untuk siapa sebenarnya 20 tahun ini dijalani?"
Baca juga:
- Sasirangan: Bukan Hanya Tradisi, Kini Jadi Tren Internasional
- Beras Murah di Batang Kuis, Operasi Pasar TNI dan Bulog
- Misteri Arca Warisan Abad ke-8 dari Lubang Saluran Air Mlati
Gala Poin:
1. Kegagalan Pendidikan dalam Pelestarian Budaya Lokal. Kurikulum muatan lokal di Aceh dinilai formalitas belaka, minim substansi dan tak mampu melindungi keberagaman budaya serta bahasa daerah.
2. Arah Pembangunan Sosial yang Normatif dan Tidak Esensial. Pembangunan pascaperdamaian terlalu sibuk mengurus hal teknis, tapi gagal memulihkan nilai budaya dan identitas sosial masyarakat.
3. Krisis Identitas Generasi Muda di Tengah Arus Modernisasi. Minimnya pendidikan budaya membuat generasi Aceh kehilangan koneksi emosional dan historis terhadap akar budayanya sendiri.
Pendidikan yang seharusnya menjadi benteng pelestarian nilai budaya justru gagal menyusun arah.
Diskusi reflektif dihelat Sagoe TV menyingkap kenyataan getir: kekosongan arah pembangunan pascakonflik, lemahnya muatan lokal di sekolah, dan kegagalan birokrasi menyentuh akar persoalan identitas budaya.
Di tengah euforia perdamaian, pertanyaan kritis pun menyeruak: ke mana arah generasi Aceh hari ini?
Baca juga:
Permintaan Amnesti Noel, Harapan atau Strategi?
Solo, 15 Agustus 2025.
Tepat dua dekade sejak perjanjian damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia ditandatangani di Helsinki pada 15 Agustus 2005. Namun, setelah 20 tahun, generasi muda Aceh dinilai kehilangan arah dan jati diri kebudayaannya.
Hal ini mengemuka dalam diskusi reflektif bertajuk "20 Tahun MoU RI-GAM Tanpa Sejahtera, Apa Kontribusi Kombatan dan Birokrat?" yang digagas oleh Sagoe TV. Diskusi dipandu Mukhlisuddin Ilyas, dan menghadirkan sejumlah narasumber seperti Munawar Liza Zain, Wiratmadinata (Ketua FKPT Aceh), Sahlan Hanafiah (Sosiolog UIN Ar-Raniry), Azharul Husna (Koordinator KontraS Aceh), dan Adi Warsidi (Jurnalis Senior).
Dalam diskusi berdurasi lebih dari dua jam itu, kritik tajam dilontarkan terhadap lemahnya pemanfaatan perdamaian untuk membangun peradaban yang berakar pada budaya Aceh.
Pendidikan Gagal Lindungi Jati Diri Budaya Aceh
Wiratmadinata menilai, selama 20 tahun pasca-konflik, terjadi kekosongan arah dalam mengisi perdamaian. Ia menyebut ruang "alfa" dalam perencanaan pembangunan, terutama dalam bidang pendidikan.
“Dinas pendidikan harus berani tampil tegas dalam menyusun kurikulum berbasis muatan lokal secara independen,” tegas Wiratmadinata.
Ia menyebutkan pentingnya mengenalkan kebudayaan Aceh sejak dini kepada pelajar, termasuk tarian-tarian khas seperti Saman, Bines, dan Zapin, serta ragam bahasa seperti Aceh, Gayo, Melayu, Devayan, Singkil, dan Jamee. Menurutnya, kebudayaan harus menjadi kompas untuk mengarahkan generasi muda agar tidak kehilangan akar.
Lebih jauh, ia mengutip data UNESCO yang menyatakan bahwa bahasa Aceh kini berada di ambang kepunahan. Posisi ini tergolong kategori nomor tiga terparah. Menurutnya, ini menjadi sinyal kuat untuk menegaskan pentingnya pelajaran muatan lokal sebagai instrumen pelestarian identitas.
Sahlan: “Aceh Sibuk Urus Hal Normatif”
Sosiolog Sahlan Hanafiah menilai arah pembangunan sosial di Aceh selama 20 tahun ini terlalu normatif dan minim pencapaian esensial. Ia membandingkan kondisi pasca-MoU dengan sejarah panjang konflik Aceh sejak pendudukan Belanda, Jepang, masa NII/DI-TII, konflik Cumbok, hingga konflik RI-GAM.
“Aceh hari ini terlalu sibuk mengurus hal-hal sederhana. Padahal, anggaran besar sudah dikucurkan. Tapi arah sosial masyarakat tidak menunjukkan warisan kejayaan masa lalu,” ungkapnya.
Ia menekankan pentingnya membangun kembali identitas budaya yang kuat melalui pendidikan dan pelibatan masyarakat dalam pelestarian nilai-nilai lokal.
Penelusuran Lapangan: Muatan Lokal Hanya Formalitas
Hasil riset lapangan yang dilakukan penulis menunjukkan minimnya substansi pelajaran muatan lokal (Mulok) di sekolah-sekolah Aceh. Penelitian mencakup satuan pendidikan dasar hingga menengah, termasuk SD, SMP, SMA, MI, MTs, MA, dan SMK.
Materi muatan lokal umumnya hanya mengajarkan tari likok pulo atau laweut, tanpa memperhatikan kekayaan ragam budaya Aceh. Pengajaran sejarah lokal juga sangat minim, hanya sekitar 0,5% dari total jam pelajaran sejarah, dan bahkan itu bergantung pada pengetahuan pengajarnya. Pelajaran geografi pun lebih fokus pada kekayaan budaya luar, tanpa menyinggung flora dan fauna khas Aceh secara mendalam.
Sebagian besar guru Mulok dinilai tidak memiliki kompetensi atau pengetahuan budaya yang memadai.
“Untuk membuktikan kelemahan ini cukup mudah. Lihat saja pada event-event budaya yang digelar pemerintah daerah. Apakah mencerminkan keberhasilan pendidikan muatan lokal?” ungkap penulis.
Kegamangan Identitas dalam Bayang Modernisasi
Penulis menilai generasi Aceh kini lebih tertarik pada budaya modern dan asing, tanpa memahami asal-usulnya. Akibatnya, mereka terjebak dalam prakmatisme budaya yang dangkal dan kehilangan ikatan emosional dengan identitas Aceh.
“Aceh hari ini berada di zona kegamangan. Generasinya telah tergiring ke ruang modern tanpa mengetahui dari mana budaya itu berasal,” tulisnya dalam refleksi pribadi.
Ia menyayangkan tidak adanya reformasi menyeluruh dalam sistem pendidikan yang mampu membangkitkan kembali kecintaan terhadap budaya lokal. Menurutnya, arah pembangunan masa depan harus dimulai dari pendidikan dan kebudayaan sebagai fondasi utama peradaban Aceh.
Profil Penulis
Rasyidin adalah seniman dan praktisi teater, kini berdomisili di Solo. Ia mengajar di Program Studi Seni Teater dan sedang menempuh pendidikan doktoral di Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta.
Baca juga:
Kendaraan Mewah hingga Penjara, Skandal Kejatuhan Noel
“Dua puluh tahun setelah damai Helsinki, Aceh menghadapi krisis jati diri generasi mudanya. Diskusi publik mengungkapkan kegagalan sistem pendidikan dan pembangunan sosial yang terlalu normatif. Budaya lokal terpinggirkan, sementara generasi muda larut dalam arus modernisasi tanpa arah yang jelas.”
#Aceh #20TahunDamaiAceh #Budaya #Identitas #GalaPosID #MediaPublikasiIndonesia