Syariah atau Sensor, Seniman Nasional Kritik MPU

GalaPos ID, Jateng.
Keputusan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Banda Aceh yang menolak menerbitkan izin konser bagi grup musik Hindia kembali memantik kontroversi.
Dari Solo, seniman nasional asal Aceh, Rasyidin, menyampaikan kritik tajam terhadap apa yang ia anggap sebagai kebijakan yang menghambat ekspresi generasi muda dan menutup peluang kemajuan kebudayaan di Aceh.

Larangan Konser di Banda Aceh, Kritik Pedas Seniman Nasional: "Ini Bukan Soal Syariah, Tapi Soal Kebebasan Publik!"
Foto: Seniman Aceh peringati penetapan Hikayat Aceh oleh UNESCO

“Kerusakan akidah terparah hari ini ternyata ada di meja kantor-kantor pemerintah, bukan di panggung konser.” — Dr. Rasyidin, Seniman Nasional asal Aceh.

Baca juga:

Gala Poin:
1. Kritik terhadap kebijakan MPU Banda Aceh: Rasyidin mempertanyakan dasar pelarangan konser, yang dianggap tidak berdasar secara kultural maupun religius.
2. Kemerosotan moral bukan dari konser: Ia menegaskan bahwa akar kerusakan moral justru berasal dari praktik korupsi para pejabat, bukan dari aktivitas seni anak muda.
3. Peringatan akan perlawanan sipil: Pembungkaman ruang ekspresi publik dapat memicu perlawanan civil society dan merusak tatanan sosial jangka panjang.

 

MPU Banda Aceh beralasan bahwa keputusan mereka berdasarkan fatwa dari MPU Provinsi, yang melarang pelaksanaan konser dengan dalih menjaga nilai-nilai keislaman.

Namun, bagi Rasyidin yang juga merupakan dosen dan peneliti budaya pertunjukan Aceh, sikap ini menunjukkan arah yang membingungkan dalam penegakan syariat.

“Faktanya sampai hari ini, titik pengrusakan moral justru bukan pada anak muda yang menonton konser atau mengisi acara konser. Tetapi kerusakan akidah terparah hari ini ternyata ada di meja kantor jawatan-jawatan pemerintah. Apa itu kerusakan akidahnya? Kerusakan akidahnya ialah korupsi uang negara tanpa ada rasa malu,” ungkapnya lantang.

Menurutnya, pelarangan semacam ini hanya mempersempit ruang hidup generasi muda. Alih-alih memperbaiki moralitas publik, justru kebijakan itu membungkam ekspresi dan kreativitas.

Baca juga:
Korban Kekerasan Istri Oknum Polisi, Bukti Disita Paksa


Ia mempertanyakan apakah MPU benar-benar melakukan kajian mendalam sebelum menerbitkan fatwa tersebut.

“Ada hal yang urgent menyangkut persoalan hajat hidup orang banyak, denyut nadi kota yang menjadi tidak bergairah. Akibatnya merambat ke mana-mana, bahkan sampai daya beli masyarakat menurun,” terang Rasyidin, dalam keterangan yang diterima redaksi, Minggu, 31 Agustus 2025.

Dalam penilaiannya, kebijakan ini memicu frustrasi masyarakat. Apalagi dengan kepemimpinan wali kota yang sudah berjalan tiga bulan setengah, namun belum menunjukkan tanda-tanda kemajuan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Ia bahkan mengingatkan akan potensi munculnya gerakan civil society untuk melawan tirani pemikiran sempit.

“Semua manusia sama di depan hukum. Dan Tuhan tidak juga memenjarakan umatnya dengan alasan yang belum dapat dibuktikan secara mendalam atas tuduhan konser sebagai pembawa petaka,” tegasnya.

Syariah atau Sensor: Seniman Nasional Kritik MPU


Rasyidin juga menyentil kemewahan para elite pejabat yang justru tidak memahami atau mengapresiasi perkembangan budaya dan seni lokal.

Menurutnya, gaya hidup religius yang diklaim sebagai landasan kebijakan ternyata justru berseberangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.

“Agama tidak sesempit yang diciptakan oleh mereka yang baru baik mobil Toyota Alphard dan Inova Reborn, serta Pajero New. Lalu membiarkan generasi muda untuk tidak bisa mengembangkan gaya hidup positif,” sentilnya tajam.

Baca juga:
Bunga Citra Lestari: “Kami Bisa Disomasi Karena Menyanyi”

Di akhir pernyataannya, Rasyidin menekankan bahwa agama adalah hubungan personal antara manusia dan Tuhan. Ia menolak agama dijadikan alat pembatas kebebasan publik atas dasar tafsir sempit.

Ia percaya bahwa tekanan semacam ini hanya akan menghasilkan keretakan sosial yang suatu saat akan meledak dalam bentuk perlawanan sipil.

“Akan ada gerakan civil society, yang terus melakukan amatan dan berpartisipasi aktif dalam kehidupan publik untuk melihat apakah Aceh bisa bangkit dan dimajukan untuk kepentingan bersama atau tidak,” tutupnya.

 

Baca juga:
Brutal! Dea Dianiaya Oknum Istri Polisi, Bukti Dirampas

“Seorang seniman nasional asal Aceh, Dr. Rasyidin, M.Sn., melontarkan kritik tajam terhadap keputusan MPU Banda Aceh yang tidak memberikan izin konser Band Hindia. Melalui pendekatan budaya, sejarah, dan kebebasan berekspresi, ia mempertanyakan relevansi pelarangan tersebut dalam konteks pembangunan masyarakat dan generasi muda.”

#GalaPosID #MediaPublikasiIndonesia #KebebasanBerekspresi #AcehBangkit #SeniUntukPublik

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال