Langkah Terakhir Yadnya Karo, Tradisi Nyadran di Bromo

GalaPos ID, Jatim.
Gema gamelan khas Suku Tengger memecah keheningan pagi di Jalan Raya Bromo, Desa Jetak, Kecamatan Sukapura. Terompet, kenong, gong, dan kendang dimainkan secara serempak, mengiringi barisan warga yang melangkah menuju pemakaman umum desa.
Mereka berjalan kaki membawa sesaji, bekal, dan harapan. Di penghujung perayaan Hari Raya Karo, inilah cara mereka menunjukkan kesetiaan pada tradisi: prosesi sakral bernama Nyadran.

Langkah Terakhir Yadnya Karo: Nyadran di Bawah Bayang Bromo

“Di tengah dentuman gamelan dan langkah kaki yang lirih, warga Tengger menghidupkan kembali napas leluhur di pemakaman desa. Nyadran bukan sekadar tradisi, tapi perlawanan diam terhadap arus modernitas yang menggerus akar budaya.”

Baca juga:

Gala Poin:
1. Tradisi Nyadran sebagai puncak perayaan Yadnya Karo — Ziarah ke makam dengan iringan gamelan khas Tengger menjadi simbol penghormatan kepada leluhur dan keyakinan masyarakat terhadap nilai-nilai spiritual warisan nenek moyang.
2. Peran masyarakat dalam menjaga tradisi — Keterlibatan ratusan warga, mulai dari anak-anak hingga dewasa, menunjukkan kuatnya komitmen kolektif masyarakat Jetak dalam melestarikan adat.
3. Uwaran sebagai wujud syukur — Prosesi berbagi uang recehan setelah Nyadran menandai ekspresi syukur masyarakat atas terkabulnya nadzar, baik berupa kesehatan, hasil panen, atau keberhasilan hidup lainnya.

 

Tak sekadar ritual tahunan, Nyadran adalah jantung budaya masyarakat Tengger.

Sebuah penanda spiritual yang menghubungkan mereka dengan para leluhur yang diyakini hidup abadi di alam kelanggengan.

“Ini adalah sebuah tradisi yang biasa dilakukan warga masyarakat di Desa Jetak, Kecamatan Sukapura, Probolinggo. Tradisi Nyadran adalah prosesi akhir dalam perayaan Yadnya Karo,” ujar Kepala Desa Jetak, Ngantoro dalam keterangan yang diterima GalaPos ID, Senin, 15 Agustus 2025.

Bagi masyarakat Tengger, perayaan Yadnya Karo bukan hanya seremoni, melainkan penegasan identitas dan ajaran leluhur yang tak bisa digantikan.

Baca juga:
Sasirangan: Bukan Hanya Tradisi, Kini Jadi Tren Internasional


Dimulai sejak awal Agustus dengan Tari Sodoran, rangkaian perayaan ini berlangsung selama satu bulan penuh. Nyadran adalah puncaknya.

Dalam prosesi ini, warga tak hanya mendoakan arwah leluhur, tetapi juga memantapkan kembali komitmen mereka terhadap adat dan spiritualitas lokal.

Sesaji yang dibawa bukan sekadar simbol, tapi doa yang dibungkus dalam bentuk materi.

Usai prosesi ziarah, suasana berubah menjadi lebih hidup dengan digelarnya uwaran—tradisi membagikan uang recehan.

Laki-laki dewasa hingga anak-anak pun berebut dengan tawa dan sorak sorai.

Langkah Terakhir Yadnya Karo: Nyadran di Bawah Bayang Bromo

Bagi masyarakat Jetak, uwaran bukan sekadar hiburan, melainkan ungkapan syukur atas nadzar yang dikabulkan: kesehatan, panen berlimpah, atau harapan hidup yang terwujud.

Meski hidup di tengah dunia yang terus berubah, masyarakat Suku Tengger menunjukkan bahwa warisan budaya tak harus ditinggalkan.

Gamelan masih berbunyi, langkah kaki masih menyusuri jalan desa, dan doa masih terbang ke langit Bromo.

Melalui Nyadran, mereka berharap keselamatan, kemakmuran, dan kebahagiaan, baik di dunia maupun di suarga—alam keabadian menurut keyakinan mereka.

 

Baca juga:
Beras Murah di Batang Kuis, Operasi Pasar TNI dan Bulog

“Di bawah bayang Gunung Bromo yang sakral, ratusan warga Suku Tengger berjalan kaki sambil membawa sesaji dan harapan. Diiringi gamelan yang menggema hingga ke puncak-puncak sunyi, mereka menapak tradisi Nyadran sebagai wujud bakti kepada para leluhur. Suara gong dan kendang tak hanya memecah kesunyian, tapi juga menandai kekuatan tradisi yang tak lapuk oleh zaman.”

#TradisiTenggerHidup #SuaraLeluhurBromo #NyadranJetak #YadnyaKaro2025 #BromoTakHanyaWisata

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال