GalaPos ID, Jakarta.
Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian (Kemenperin) resmi membentuk Pusat Krisis Industri Pengguna HGBT, menyusul keluhan dari pelaku industri soal pembatasan pasokan gas bumi yang tengah berlangsung.
![]() |
Foto: PGN |
“Gas produksi lancar, tapi kenapa pasokan HGBT justru dibatasi? Terbentuknya Pusat Krisis HGBT: Antara respons cepat pemerintah dan pertanyaan siapa sesungguhnya dirugikan.”
Baca juga:
- Ilham Permana: Kuota Gas 48% Rugikan Industri, Ancaman PHK
- Gerimis Nabire, Gubernur Meki Nawipa Pimpin Upacara HUT RI
- Skandal Akuisisi BCA Kembali Dihidupkan, Ini Alasannya
Gala Poin:
1. Kemenperin membentuk Pusat Krisis Industri HGBT untuk menampung keluhan terkait pasokan gas.
2. Tidak ada kendala teknis produksi gas, namun gas HGBT dibatasi sementara gas non-HGBT tetap lancar.
3. Asosiasi industri menyebut pabrik terpaksa pakai energi alternatif, sebagian tekanan gas mulai membaik, tapi ongkos produksi melonjak.
Langkah ini dilakukan sebagai respons atas surat dari produsen gas kepada industri penerima HGBT, yang menyatakan akan membatasi pasokan hingga 48% dari volume normal.
Padahal, menurut juru bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arief, tidak ada gangguan produksi gas di hulu.
“Menurut kami, hal ini janggal karena pasokan gas untuk harga normal, harga di atas US$15 per MMBTU, stabil. Tapi mengapa pasokan untuk HGBT yang berharga US$6,5 per MMBTU dibatasi?” ujar Febri dalam pernyataan, Selasa, 19 Agustus 2025.
Febri juga menyayangkan jika pembatasan ini hanya untuk mendorong industri membayar harga gas yang lebih mahal.
Baca juga:
Penumpang Hilang di Laut, CCTV Rekam Aksi Melompat
Ia menyebut ini bukan hanya masalah energi, tapi ancaman bagi keberlangsungan sektor manufaktur dan daya saing industri dalam negeri.
“Kami tidak ingin kejadian seperti di industri TPT dan alas kaki terulang, ketika relaksasi impor menyebabkan penurunan produksi dan pemutusan hubungan kerja,” tambah Febri.
Keluhan juga datang dari lapangan. Ketua Umum Asosiasi Produsen Gelas/Kaca Indonesia (APGI), Henry T. Susanto, menyebut tekanan gas sempat anjlok pada 13 Agustus 2025, memaksa beberapa pabrik berhenti produksi.
“Sekarang sebagian tekanan penyaluran gas ke anggota kami sudah membaik dan kembali normal, tetapi sebagian masih belum membaik,” kata Henry.
Ia juga mengungkapkan bahwa industri dikenakan tarif USD 14,8 per MMBTU jika menggunakan gas di atas kuota 48%.
Menurut Kemenperin, pembatasan ini bukan force majeure, melainkan persoalan transparansi data dan motif kebijakan. Oleh sebab itu, mereka meminta semua pihak membuka informasi mengenai alokasi gas secara terbuka kepada publik dan industri.
Kemenperin berharap pembentukan Pusat Krisis Gas ini menjadi titik awal penyusunan ulang kebijakan energi yang lebih adil dan berpihak pada industri serta UMKM.
Baca juga:
Bandar H dan 13 Kg Sabu, Rantai Kurir Terbongkar
“Menanggapi keresahan industri, Kemenperin membentuk Pusat Krisis Gas HGBT. Pemerintah menilai tidak ada kendala teknis produksi gas, justru mempertanyakan motif ekonomi di balik pembatasan pasokan.”
#HGBTAdil #EnergiBukanMainan #GasUntukBangsa #JanganMatikanIndustri #GalaPosID #MediaPublikasiIndonesia