BUMD Rugi Rp5,5 T, Politik Balas Budi Gerogoti Uang Publik

GalaPos ID, Jakarta.
Sebanyak 300 Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) mengalami kerugian hingga Rp5,5 triliun. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyebut angka ini bukan hanya kegagalan bisnis, tetapi kegagalan tata kelola publik.
Lemahnya tata kelola, dominasi politik, dan pengawasan yang minim dinilai sebagai sumber masalah utama.

BUMD Merugi Rp5,5 Triliun: Politik Balas Budi Menggerogoti Uang Publik

“Di balik deretan gedung BUMD, terpendam ironi: uang rakyat menguap, komisaris menumpuk, dan kinerja jeblok. Siapa bertanggung jawab?”

Baca juga:

Gala Poin:
1. Kerugian Rp5,5 triliun terjadi akibat lemahnya tata kelola dan dominasi politik dalam tubuh BUMD.
2. Banyak BUMD tidak memiliki pengawasan internal dan tidak sesuai potensi daerah.
3. Tito usulkan pembentukan Ditjen BUMD agar pengawasan lebih tegas dan profesional.


“Lemahnya tata kelola BUMD ditandai dengan ketimpangan jumlah dewan pengawas dan komisaris yang lebih banyak daripada direksi,” kata Tito dalam Rapat Kerja dengan Komisi II DPR RI di Jakarta, Rabu, 16 Juli 2025.

Dari total 1.091 BUMD yang terdata, struktur organisasi terkesan tambun di bagian atas. Jumlah komisaris dan pengawas mencapai 1.993 orang, melebihi jumlah direksi yang hanya 1.911 orang.

Lebih dari itu, Tito menyoroti dividen yang dihasilkan hanya 1 persen dari total aset Rp1.240 triliun.

Baca juga:
Doa dan Humor di Tengah Arus Balik

“Sangat memprihatinkan dan tidak sepadan dengan besarnya modal yang dikeluarkan,” ujar Tito.

Laba bersih yang dicatat hanya Rp24,1 triliun, sementara kerugian mencapai Rp5,5 triliun.

Sebanyak 342 BUMD bahkan tidak memiliki satuan pengawas internal. Banyak BUMD dinilai tidak sesuai dengan potensi daerah—misalnya, di daerah wisata justru didirikan BUMD tambang.



Tito juga mengungkap bahwa sejumlah pengurus BUMD adalah tim sukses Pilkada yang tidak memiliki kompetensi.

BUMD Gagal Kelola Potensi Daerah, APBD Jadi Korban

“APBD disuntik bukan untuk membuat sehat, tapi untuk operasional. Ini malah membuat keuangan daerah tambah tekor,” tegasnya.

Fenomena kerugian Rp5,5 triliun yang dialami oleh ratusan BUMD bukan sekadar angka akuntansi, melainkan sinyal keras akan bobroknya manajemen dan absennya akuntabilitas.

Struktur tambun di pucuk pimpinan, absennya pengawasan internal, dan minimnya relevansi dengan potensi daerah menunjukkan bahwa banyak BUMD lebih berfungsi sebagai kendaraan politik daripada instrumen pembangunan ekonomi.

Baca juga:
Gestur Viral Prana Putra Sohe, DPR Diguncang Isyarat Jempol Kejepit
Kegagalan ini bukan milik satu institusi saja, melainkan refleksi sistemik dari lemahnya tata kelola daerah.

Ketika kursi-kursi komisaris lebih padat daripada meja kerja direksi, dan dividen nyaris tidak berbanding dengan nilai aset triliunan, maka publik berhak mempertanyakan: untuk siapa sesungguhnya BUMD ini dibentuk?

Penggunaan APBD untuk menyuntik BUMD tanpa reformasi justru memperlebar jurang defisit dan memperpanjang derita fiskal daerah. Jika BUMD terus dijalankan tanpa paradigma baru, maka bukan hanya efisiensi yang terancam—tetapi juga masa depan ekonomi lokal yang layak dan berdaya saing.

 

Baca juga:
Chromebook Sekolah? Belajar Digital Tanpa Internet

“Ratusan BUMD di Indonesia mencatat kerugian total Rp5,5 triliun. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyebut lemahnya tata kelola, dominasi politik, dan pengawasan yang minim sebagai sumber masalah utama.”

#GalaPosID #MediaPublikasiIndonesia #BUMDBobrok #AuditBUMD #TataKelolaDaerah