GalaPos ID, Bandung.
Banjir besar yang melanda Sumatra bukan sekadar akibat curah hujan ekstrem—ia adalah cermin retak dari cara negara mengelola lingkungan, anggaran, dan keselamatan rakyat. Di balik genangan air dan ribuan warga yang mengungsi, muncul pertanyaan lebih dalam: mengapa keputusan penting seperti penetapan status bencana nasional justru terkesan ditahan?
Bencana ini bukan hanya persoalan alam, tetapi refleksi dari bagaimana elite politik memandang rakyat dan bagaimana amanah ekologis yang dipercayakan kepada Indonesia sering kali diabaikan.
![]() |
| Foto tangkapan layar video TikTok @fimolly.id, dipublikasikan pada 8 Desember 2025, diakses pada 3 Desember 2025 melalui https://vt.tiktok.com/ZSfnGkLr1/ |
Oleh Vania Sucahyaningsih dari Universitas Kebangsaan Republik Indonesia, Bandung.
"Mengapa Banjir Sumatra Tak Jadi Bencana Nasional? Sebuah Catatan Etis, Politik, dan Amanah Lingkungan"
Banjir besar yang melanda Sumatra bukan hanya soal curah hujan tinggi atau cuaca ekstrem. Bencana ini membuka sesuatu yang lebih dalam: cara negara mengambil keputusan, bagaimana elit politik memandang rakyat, serta bagaimana amanah ekologis yang dipercayakan kepada Indonesia seringkali tidak dijalankan dengan penuh tanggung jawab.
Pemerintah telah menyatakan bahwa banjir Sumatra belum memenuhi kriteria bencana nasional, meskipun korban jiwa, kerusakan infrastruktur, dan dampak sosialnya terus meningkat.
Padahal, publik menyaksikan sendiri bagaimana ribuan warga mengungsi, desa-desa terisolasi, dan logistik tidak merata. Dalam situasi inilah muncul pertanyaan: mengapa status “bencana nasional” begitu sulit diucapkan?
Paradigma Elitisme: Ketika Keputusan Tidak Lagi Berbasis Rakyat
Dalam teori elite paradigm, kebijakan negara sering didorong oleh kepentingan sekelompok kecil elit yang memiliki kekuasaan, bukan oleh kebutuhan rakyat banyak.
Penetapan status bencana nasional bukan hanya soal prosedur teknis—ia menyentuh banyak kepentingan politik, ekonomi, dan citra negara.
Baca juga:
Kanal Youtube Tempo Hilang, Dicurigai Ada Pembungkaman
Beberapa analis menjelaskan bahwa status bencana nasional dapat membuka ruang pengawasan internasional terhadap bagaimana Indonesia mengelola anggaran lingkungan dan penanggulangan bencana.
Jika pintu itu dibuka, maka dunia bisa melihat apakah dana-dana yang dialokasikan untuk mitigasi bencana benar-benar digunakan sebagaimana mestinya.
Di tengah kritik anggaran BNPB yang dipangkas tahun ini, alasan tersebut menjadi semakin masuk akal.
Anggaran: Alasan Senyap yang Tak Pernah Dikatakan Terang-Terangan
Menurut data anggaran yang beredar, BNPB mengalami pemotongan hampir Rp 470 miliar pada tahun 2025.
Anggaran penanggulangan bencana akhirnya tersisa sekitar Rp 707 miliar, jumlah yang sangat kecil untuk negara sebesar Indonesia yang berada di “ring of fire” dan rawan bencana.
Dalam kacamata publik, pemotongan anggaran ini menegaskan bahwa penanggulangan bencana bukan menjadi prioritas negara. Kita lebih sering reaktif ketika bencana sudah terjadi, daripada membangun sistem mitigasi yang kuat.
![]() |
| Foto IG: muzakirmanaf1964 |
Ketika banjir Sumatra terjadi, negara terlihat gagap—dan di saat bersamaan, negara juga terlihat takut untuk mengumumkannya sebagai bencana nasional. Mengapa? Karena keputusan itu menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia tidak siap, dan tidak sungguh-sungguh menjadikan bencana sebagai prioritas anggaran.
Amanah Paru-Paru Dunia: Ketika Lingkungan Dijadikan Komoditas
Indonesia sering disebut sebagai paru-paru dunia, bukan hanya karena hutan Kalimantan dan Papua, tetapi juga karena kawasan Sumatra yang kaya keanekaragaman hayati.
Negara-negara dunia, termasuk Jerman, Uni Emirat Arab, Prancis, Norwegia, dan Inggris, memberikan banyak program pendanaan untuk menjaga kelestarian lingkungan Indonesia di Tropical Forest Finance Facility atau TFFF
Namun, publik bertanya:
Apakah amanah itu dijalankan dengan benar?
Faktanya, di beberapa wilayah Sumatra, hutan alam telah berganti menjadi perkebunan sawit, tambang, dan kawasan industri. Sawit memang pohon—tetapi ia bukan paru-paru dunia. Ia tidak memiliki daya serap karbon dan fungsi ekologis yang sama dengan hutan alam yang digantikannya.
Ketika kawasan tangkapan air rusak, banjir bukan lagi musibah alam, tapi musibah kebijakan.
Dan inilah landasan moralnya:
Jika dana global diberikan untuk menjaga hutan, tetapi hutan tetap rusak dan bencana semakin parah, maka kita sedang tidak amanah.
Baca juga:
Ratusan Ribu Debitur Terdampak Banjir, OJK Terapkan Relaksasi 3 Tahun
Citra Negara: Ketakutan yang Mendorong Kebijakan?
Beberapa tokoh HAM dan analis kebijakan lingkungan menyebut bahwa penetapan status bencana nasional dianggap dapat memperburuk citra Indonesia di mata internasional. Negara lain akan menilai kita gagal menjaga lingkungan dan gagal membangun sistem mitigasi.
Pernyataan seperti ini pernah disampaikan almarhum Sutopo Purwo Nugroho dari BNPB tahun 2018:
“Banyak negara enggan menetapkan status bencana nasional karena itu menunjukkan kelemahan di mata dunia.”
Pertanyaannya:
Apakah citra negara lebih penting daripada keselamatan warga negara?
Jika keputusan negara lebih mempertimbangkan reputasi daripada nyawa rakyat, maka kita sedang berada dalam kondisi moral yang harus dipertanyakan.
Solidaritas Warga: Ketika Negara Lambat, Rakyat Bergerak
Di tengah semua ketidakjelasan kebijakan, ada satu hal yang menjadi penghibur: warga membantu warga. Ini sekaligus menjadi kritik paling tajam.
Ketika negara sibuk berhitung soal status,
ketika anggaran bencana minim,
ketika elit memikirkan citra,
yang turun ke lapangan pertama kali adalah masyarakat sendiri.
Solidaritas ini patut diapresiasi, namun tidak boleh menjadi normalisasi. Negara tetap memiliki mandat moral dan konstitusional untuk melindungi segenap bangsa Indonesia, bukan menyerahkan sepenuhnya kepada warga sipil.
Baca juga:
Frekuensi Bencana Meningkat, DPR Kritik Kesiapsiagaan Pemerintah
Dalam perspektif Islam, manusia ditunjuk sebagai khalifah fil ardh, pemegang amanah untuk menjaga bumi.
Allah berfirman dalam QS. Al-A’raf:56:
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya.”
Kerusakan ekologis di Sumatra, dari hilangnya tutupan hutan hingga tata kelola yang buruk, adalah contoh nyata bagaimana amanah ini diabaikan.
Jika pemerintah menunda penetapan bencana nasional demi menjaga citra atau kepentingan politik, maka negara telah gagal menempatkan kemanusiaan di atas kepentingan elite.
Banjir Sumatra bukan hanya peristiwa alam, tetapi cermin keadaan politik, moral, dan tata kelola negara. Ada beberapa amanah besar yang harus kembali diingat:
1. Amanah menjaga kehidupan rakyat.
Setiap kebijakan harus mengutamakan keselamatan, bukan citra atau stabilitas politik.
2. Amanah menjaga lingkungan.
Dunia mempercayakan tanggung jawab besar kepada Indonesia. Mengabaikannya adalah pengkhianatan moral.
3. Amanah mengelola anggaran secara adil dan prioritas.
Negara rawan bencana tidak boleh mengurangi anggaran bencananya.
4. Amanah transparansi.
Jika status bencana nasional enggan ditetapkan karena faktor tertentu, rakyat berhak tahu alasannya.
Karena pada akhirnya, ukuran negara bukan seberapa baik ia membangun pencitraan—tetapi seberapa tegak ia berdiri bersama rakyat saat bencana datang.
Nama: Vania Sucahyaningsih
Universitas Kebangsaan Republik Indonesia
Asal Daerah : Kota Bandung
Judul: Mengapa Banjir Sumatra Tak Jadi Bencana Nasional? Sebuah Catatan Etis, Politik, dan Amanah Lingkungan
Baca juga:
Telur Mentah vs Telur Matang, Mana Lebih Baik untuk Tubuh?
"Bencana banjir Sumatra mengungkap fakta pahit bahwa mitigasi dan tata kelola lingkungan di Indonesia belum menjadi prioritas nasional."
#GalaPosID #MediaPublikasiIndonesia #Opini #Banjir #Sumatra

.jpg)