“Mengupas Strategi Global Tiongkok: FSI dan PAPI Soroti Dampak dan Peluang bagi Indonesia”

GalaPos ID, Jakarta.
Tiongkok kini menjadi kekuatan ekonomi global yang ekspansif. Namun, di tengah derasnya arus investasi dan produk murah dari negeri itu, muncul pertanyaan penting: sejauh mana Indonesia siap menghadapi strategi pasar Tiongkok yang agresif?
Pertanyaan ini menjadi fokus utama dalam seminar publik bertajuk “Strategi Tiongkok Mencari Pasar: Tantangan dan Peluang bagi Indonesia”, yang digelar oleh Forum Sinologi Indonesia (FSI) bersama Paramadina Asia and Pacific Institute (PAPI) dan Ikatan Pemuda Tionghoa Indonesia (IPTI) di Kampus Kuningan, Trinity Tower lantai 45, Jakarta.

Strategi Ekonomi Tiongkok: Peluang atau Ancaman bagi Indonesia?
FSI dan PAPI menggelar diskusi bertema "Strategi Tiongkok Mencari Pasar: Tantangan dan Peluang Bagi Indonesia". Foto: Istimewa

“Di Balik Banjir Barang China: Strategi Ekonomi Tiongkok dan Tantangan bagi Indonesia”
Bagaimana strategi ekspansi pasar Tiongkok mengubah peta industri Indonesia? Sebuah seminar publik di Jakarta membedah peluang dan ancaman di balik gempuran produk dan investasi negeri tirai bambu itu.


Baca juga:

Gala Poin:
1. Strategi ekspansi ekonomi Tiongkok memberi peluang besar bagi investasi dan teknologi, tetapi menimbulkan tantangan bagi kemandirian industri Indonesia.
2. Praktik dumping dan pelemahan Yuan menjadikan produk Tiongkok lebih kompetitif, menekan pelaku industri lokal.
3. Kolaborasi seimbang dan transfer teknologi menjadi kunci agar Indonesia tidak terjebak dalam ketergantungan struktural.

 

Kegiatan yang dilaksanakan secara hybrid ini menghadirkan tiga narasumber lintas bidang: La Ode Ikrar Hastomi, dari Kementerian Perindustrian; Yen Yen Kuswati, dari KADIN dan IPTI; serta Mohamad Dian Revindo, ekonom dari Universitas Indonesia.

Diskusi dipandu oleh Muhammad Farid, akademisi dari President University sekaligus Sekretaris FSI. Dalam sambutan pembuka, Direktur PAPI, Peni Hanggarini mengingatkan kembali sejarah panjang hubungan Tiongkok–Nusantara yang telah terjalin sejak masa Laksamana Zheng He pada abad ke-15.

“Dulu hubungan ini terjalin melalui pelayaran dan pertukaran barang seperti sutra, keramik, rempah-rempah serta budaya; kini telah berkembang menjadi kerja sama di bidang perdagangan, investasi, dan teknologi. Bagaimana Indonesia menghadapi ini sebagai tantangan sekaligus peluang merupakan hal yang penting untuk dikaji,” ujar Peni, dalam keterangan yang diterima redaksi GalaPos ID, Senin, 3 November 2025.

Sementara itu, Stephen Hwang dari IPTI menegaskan bahwa loyalitas terhadap bangsa tidak diukur dari etnisitas, melainkan kontribusi nyata.

“Komunitas Tionghoa di Indonesia memiliki posisi unik sebagai jembatan antara dua budaya besar Asia. Namun hubungan ekonomi harus bersifat mutual—saling menguntungkan,” ujar Stephen.

Baca juga:
Dari Desa Karya Majusukses, Puguh Subagio Torehkan Prestasi Emas Ganda


Stephen menekankan perlunya memastikan kerja sama ekonomi dengan Tiongkok tidak menimbulkan ketimpangan struktural, tetapi mendorong pertumbuhan inklusif.

La Ode Ikrar Hastomi memaparkan bahwa sektor manufaktur masih menjadi tulang punggung ekonomi nasional. Ia menyoroti peran kawasan industri seperti Morowali sebagai pusat investasi berbasis nikel yang berorientasi ekspor.

“Trade balance industri manufaktur Indonesia kini mencatatkan surplus… namun, pada 2024 ekspor Indonesia ke Tiongkok mencapai 62,44 miliar USD, sedangkan impor dari Tiongkok mencapai 72,73 miliar USD,” ujarnya.

Ia menekankan pentingnya transfer teknologi dan industrial upgrading agar Indonesia tidak selamanya bergantung pada investasi luar negeri.

Yen Yen Kuswati menilai kerja sama dengan Tiongkok membawa manfaat besar, seperti peningkatan investasi dan transfer teknologi.

“Tiongkok menerapkan soft diplomacy berbasis budaya—melalui festival, kuliner, pendidikan bahasa Mandarin, hingga pertukaran pelajar,” jelasnya.

Dari Dumping hingga Diplomasi: Mengupas Ekspansi Ekonomi Tiongkok di Indonesia


Namun, ia juga mengingatkan sisi gelap dari ketergantungan ekonomi:

“Persaingan harga barang asal Tiongkok menekan pelaku usaha lokal, berpotensi menyebabkan ketergantungan pada impor dan defisit neraca perdagangan.”

Menurutnya, kunci keberhasilan Indonesia terletak pada kolaborasi strategis yang seimbang, bukan resistensi semata.

“Tiongkok bisa menjadi mitra untuk mempercepat transformasi ekonomi Indonesia, asal kerja samanya dijalankan secara seimbang,” tegas Yen Yen.

Baca juga:
Dialog Interaktif PDI Perjuangan, Zahir: Rakyat Butuh Makan Bukan Janji

Ekonom Mohamad Dian Revindo menilai kesuksesan Tiongkok didorong oleh strategi ekonomi yang disiplin dan manajemen terintegrasi.

“Tiongkok adalah negara yang terlalu besar untuk diabaikan. Mereka menjaga nilai tukar mata uangnya tetap lemah agar produk ekspor tetap kompetitif,” ujarnya.

Ia menyoroti praktik dumping produk seperti garmen, kaca, dan lisin yang merugikan industri lokal.

“Produk impor menjadi lebih diminati, menekan tenaga kerja dan meningkatkan ketergantungan,” tambahnya.

Revindo menilai Indonesia perlu memperkuat riset, inovasi, dan sinkronisasi kebijakan sektor hulu-hilir agar mampu bersaing di pasar global.

“Indonesia harus belajar dari disiplin strategis Tiongkok, tanpa kehilangan jati diri,” pungkasnya.

Baca juga:
Dampak Jangka Panjang Hujan Buatan, Alam Mulai Melawan? 


Dalam penutup, Johanes Herlijanto, Ketua FSI, menegaskan pentingnya memahami strategi ekonomi Tiongkok secara menyeluruh.

“Strategi pelemahan Yuan dan praktik dumping membuat produk Tiongkok lebih kompetitif, namun juga dapat menimbulkan ketergantungan ekonomi yang berbahaya,” ujarnya.

Ia menilai bahwa Indonesia harus memperkuat posisi tawarnya agar tidak menjadi pasar semata.

“Hubungan Indonesia–China menyimpan peluang besar, tapi tantangan kemandirian bangsa tidak boleh diabaikan,” tegas Johanes.

Kegiatan ini menjadi kolaborasi perdana antara PAPI, FSI, dan IPTI.

“Kegiatan ini sejalan dengan tujuan PAPI, yaitu membangun dialog dan pengetahuan untuk diplomasi di Asia dan Pasifik,” ujar Dr. Peni Hanggarini.

Seminar tersebut bukan hanya ruang akademik, tetapi juga ajakan untuk berpikir kritis: bagaimana Indonesia bisa menjadi pemain utama, bukan sekadar pasar, dalam percaturan ekonomi Asia.

 

Baca juga:
Sabrina Alatas Diserbu Netizen Imbas Perceraian Raisa-Hamish Daud

"Seminar publik yang digelar Forum Sinologi Indonesia (FSI), bekerja sama dengan Universitas Paramadina dan Ikatan Pemuda Tionghoa Indonesia (IPTI), mengupas strategi agresif Tiongkok mencari pasar global dan dampaknya terhadap ekonomi Indonesia. Para pakar menyoroti praktik dumping, pelemahan yuan, hingga potensi kolaborasi strategis yang adil bagi kedua negara."

#Tiongkok #Ekonomi #Indonesia #GalaPosID #MediaPublikasiIndonesia

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال