GalaPos ID, Jakarta.
Dalam upaya mengatasi banjir dan cuaca ekstrem, BMKG melanjutkan operasi modifikasi cuaca di berbagai wilayah. Namun di balik ambisi mengendalikan alam, para ahli mengingatkan bahaya laten yang mungkin belum disadari: dari perubahan pola hujan, pencemaran tanah, hingga potensi konflik geopolitik.
Dalam jangka menengah hingga panjang, intervensi ini bisa mengubah pola iklim, memicu konflik antarwilayah, bahkan mengancam keanekaragaman hayati.
"Mungkinkah upaya manusia “menjinakkan” cuaca justru menjadi awal dari kekacauan iklim baru?"
Baca juga:
- Operasi Damai Cartenz, Strategi Humanis Hadapi KKB di Papua
- Indonesia dan Selandia Baru Perluas Kolaborasi Bidang Kesehatan dan Pertanian
- Rotasi Pejabat TNI AL, Kolonel Laut (T) Teguh Jadi Kadislitbangal
Gala Poin:
1. Dampak modifikasi cuaca dapat berlangsung dari jangka pendek hingga puluhan tahun.
2. Risiko terbesar meliputi perubahan siklus air, pencemaran tanah, dan konflik sosial-lingkungan.
3. Diperlukan riset, regulasi, dan transparansi publik untuk mencegah dampak tak terduga.
Studi menunjukkan bahwa efek modifikasi cuaca bisa muncul dalam berbagai rentang waktu. Dampak jangka pendek mencakup perubahan cuaca lokal yang tiba-tiba, gangguan transportasi udara akibat kabut buatan, hingga potensi risiko kesehatan dari konsentrasi bahan kimia di udara.
Dalam jangka menengah, pola hujan regional dapat bergeser. Penggunaan bahan kimia berulang seperti garam dan perak iodida bisa meningkatkan salinitas tanah dan air, mengganggu pertanian, serta menurunkan populasi spesies sensitif terhadap perubahan cuaca.
Sementara dalam jangka panjang, para peneliti memperingatkan ancaman yang jauh lebih kompleks:
- Gangguan siklus hidrologi alami yang memengaruhi pasokan air tanah.
- Kehilangan keanekaragaman hayati karena perubahan ekosistem permanen.
- Risiko konflik geopolitik, bila teknologi cuaca digunakan sepihak oleh negara tertentu untuk kepentingan ekonomi atau militer.
Baca juga:
Satgas Damai Cartenz Buru Pelaku Penganiayaan di Yahukimo
Fenomena ini bahkan berpotensi menimbulkan “efek kupu-kupu” iklim global — perubahan kecil di satu wilayah dapat berdampak besar di wilayah lain.
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, mengingatkan agar setiap langkah mitigasi dilakukan hati-hati.
“BMKG, BNPB, dan pemerintah daerah harus memperkuat sistem peringatan dini serta koordinasi di lapangan agar langkah antisipatif bisa dilakukan cepat dan terarah,” ujarnya dalam keterangan, Sabtu, 1 November 2025.
Namun, tanpa regulasi yang jelas dan keterlibatan publik, upaya ini berisiko menciptakan ketergantungan teknologi yang justru mengabaikan solusi berbasis alam dan konservasi air.
BMKG terus melakukan operasi modifikasi cuaca (OMC) di berbagai wilayah guna mencegah banjir dan curah hujan ekstrem. Namun di balik keberhasilan teknis, muncul kekhawatiran soal dampak lingkungan, etika, hingga ketergantungan pada teknologi pengendali langit ini.
Langit Jawa dan Jakarta kini bukan sekadar menurunkan hujan—ia sedang “diatur”. Sejak akhir Oktober, pesawat-pesawat BMKG melesat menabur garam di awan. Namun, di balik niat mulia mencegah bencana, sejumlah pakar mempertanyakan: apakah kita tengah mengorbankan keseimbangan alam demi cuaca yang “terkendali”?
Baca juga:
Petani vs Korporasi, DPRD Batu Bara Soroti Sengketa Lahan PT Socfindo
"Modifikasi cuaca yang kini dijalankan di berbagai wilayah Indonesia tidak hanya berdampak sesaat. Dalam jangka menengah hingga panjang, intervensi ini bisa mengubah pola iklim, memicu konflik antarwilayah, bahkan mengancam keanekaragaman hayati."
#GalaPosID #MediaPublikasiIndonesia #Iklim #Cuaca #HujanBuatan
.jpeg)
.jpeg)