GalaPos ID, Jakarta.
Kasus debt collector yang menghadang ibu berboncengan anak di Pulo Gadung membuka kembali perdebatan lama tentang lemahnya regulasi dan pengawasan terhadap penagihan utang di Indonesia. Padahal, aturan tentang tata cara penagihan sebenarnya sudah sangat jelas.
Kasus ini menyoroti lemahnya pengawasan terhadap perusahaan pembiayaan dan para penagih utang di lapangan.
"Penagihan utang bukan berarti kebal hukum. Ketika penagih menempuh cara kekerasan dan menakut-nakuti, mereka justru berpotensi menjadi pelaku kejahatan dengan ancaman penjara hingga lima tahun."
Baca juga:
- Dua Karaoke di Sebatik Disegel, Disporapar Temukan Miras dan LC Ilegal
- Etika Profesi di Ujung Tanduk, Pelajaran dari Kasus Hartanto
- Lanskap Media Online Indonesia 2025, Siapa yang Dipercaya Publik?
Gala Poin:
1. Tindakan debt collector yang mengambil barang secara paksa dapat dijerat Pasal 362 KUHP atau Pasal 476 KUHP baru.
2. Debt collector dilarang menggunakan kekerasan dan wajib memiliki sertifikasi serta izin resmi.
3. Pelanggaran dapat berujung pada sanksi berat, termasuk pidana dan pencabutan izin perusahaan.
Dalam hukum pidana, tindakan penagih yang menyita atau mengambil barang milik debitur secara paksa dapat dijerat Pasal 362 KUHP tentang pencurian, dengan ancaman pidana lima tahun penjara.
Ketentuan serupa juga diatur dalam Pasal 476 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP baru, dengan ancaman denda hingga Rp500 juta.
Penagihan utang di Indonesia memiliki batasan tegas. Debt collector dilarang menggunakan kekerasan, ancaman, atau penghinaan, serta tidak boleh menagih di luar jam yang diatur—yakni pukul 08.00 hingga 20.00, Senin sampai Sabtu.
Mereka juga wajib menunjukkan identitas diri dan izin resmi dari lembaga sertifikasi profesi yang diakui.
Baca juga:
Cuan Besar di Dunia Miniatur, Ini Cara Memulai Bisnis Diecast
Penagihan hanya boleh dilakukan kepada debitur, bukan kepada keluarga atau pihak ketiga.
“Debt collector tidak boleh mengancam, melakukan kekerasan fisik atau verbal, atau mempermalukan konsumen,” tertulis dalam ketentuan OJK.
Jika melanggar, para pelaku bisa dikenai sanksi administratif, pidana, hingga pencabutan izin perusahaan pembiayaan, sesuai UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang Penguatan Sistem Perbankan (UU PPSK).
Praktik penagihan jalanan yang kerap terekam di media sosial menunjukkan bahwa masih banyak pihak yang bekerja tanpa izin resmi dan tanpa pelatihan etika profesi. Hal ini menimbulkan risiko kekerasan, pelanggaran hukum, hingga trauma bagi masyarakat.
Publik kini menuntut agar pemerintah dan aparat menindak tegas debt collector ilegal yang meresahkan, sekaligus memperkuat pengawasan terhadap perusahaan pembiayaan yang mempekerjakan mereka.
Baca juga:
Kurangi Risiko dan Cegah Kanker, Hindari Enam Makanan Ini
"Kasus viral debt collector yang menghadang pengendara perempuan di Jakarta Timur kembali menyoroti lemahnya pengawasan terhadap praktik penagihan di lapangan. Padahal, aturan hukum jelas melarang kekerasan dan intimidasi dalam proses penagihan utang."
#HukumIndonesia #DebtCollectorIlegal #OJK #PenegakanHukum #GalaPosID #MediaPublikasiIndonesia
.jpg)
.jpg)