Etika Profesi di Ujung Tanduk, Pelajaran dari Kasus Hartanto

GalaPos ID, Bengkulu.
Kasus korupsi yang menjerat Hartanto, pengacara yang diduga memanipulasi dana kompensasi warga dalam proyek jalan tol Bengkulu–Taba Penanjung, menyoroti kembali soal integritas profesi advokat di Indonesia.
Ketika advokat menyeleweng, publik pun kehilangan pelindung terakhirnya di depan hukum.

Advokat Harusnya Pelindung, Bukan Pelanggar Hukum

"Ketika pengacara menukar etika dengan rupiah, siapa yang masih bisa dipercaya membela kebenaran?"

Baca juga:

Gala Poin:
1. Kasus Hartanto membuka kembali diskursus soal lemahnya pengawasan etik profesi advokat di Indonesia.
2. Advokat memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga kepercayaan publik dalam menjalankan tugas hukumnya.
3. Pelanggaran etik advokat berdampak pada runtuhnya legitimasi hukum dan kepercayaan masyarakat.


Advokat seharusnya menjadi penjaga keadilan dan pelindung hak warga, bukan justru bagian dari pelanggaran hukum itu sendiri.

Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, profesi ini menuntut profesionalisme, independensi, dan etika tinggi. Seorang advokat wajib memberikan jasa hukum secara jujur, adil, dan tidak menyalahi kepercayaan kliennya.

Dalam kasus Hartanto, kepercayaan sembilan warga yang terdampak proyek tol justru menjadi celah bagi dugaan penyimpangan dana. Ia diduga mengambil sebagian uang ganti rugi dengan alasan biaya administrasi dan pendampingan.

Baca juga:
Kasus Pemerasan via ITE, Nikita Mirzani Divonis 4 Tahun Penjara

Advokat adalah profesi hukum yang berwenang memberikan konsultasi, pendampingan, dan pembelaan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Namun, hak-hak istimewa ini harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab.

Syarat menjadi advokat pun tidak ringan — mulai dari pendidikan hukum, ujian profesi, hingga magang selama dua tahun.

Sayangnya, kasus seperti Hartanto memperlihatkan bahwa proses formal tidak selalu menjamin integritas moral. Di titik ini, pengawasan publik dan penegakan kode etik profesi menjadi kunci agar advokat tidak keluar dari jalur keadilan.

Kejahatan kerah putih seperti korupsi yang dilakukan oleh figur hukum menimbulkan dampak ganda — merugikan negara sekaligus meruntuhkan kepercayaan masyarakat pada lembaga penegak hukum.

Etika Profesi di Ujung Tanduk: Pelajaran dari Kasus Hartanto
 

Hartanto, yang dulunya dikenal lantang membela rakyat kecil, kini justru menghadapi citra sebaliknya: seorang pembela hukum yang melanggar hukum.

Kasus ini menjadi peringatan bahwa etik dan moral advokat sama pentingnya dengan kemampuan hukum. Tanpa keduanya, profesi ini hanya akan menjadi alat transaksi, bukan pilar keadilan.

Sebelumnya, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bengkulu resmi menahan Hartanto, seorang pengacara yang diduga terlibat dalam kasus tindak pidana korupsi mark up pembebasan lahan proyek pembangunan Jalan Tol Bengkulu–Taba Penanjung, Kabupaten Bengkulu Tengah, tahun 2019–2020.

Penahanan dilakukan pada Selasa malam (28/10/2025) sekitar pukul 21.00 WIB, setelah pemeriksaan intensif sejak siang hari.

“Peran tersangka Hartanto yakni sebagai pendamping 9 orang warga terdampak pembangunan (WTP) pembebasan lahan tol Bengkulu–Taba Penanjung tahun 2019–2020 dengan total uang hasil pendampingan yang diduga dimark up sebesar Rp15 miliar,” tegas Danang Prasetyo, Kasi Penyidikan Pidsus Kejati Bengkulu, Selasa, 28 Oktober 2025.

 

 

Baca juga:
Dampak Kopi pada Stres yang Perlu Anda Ketahui

"Di balik kasus penahanan Hartanto, publik kembali diingatkan pada pentingnya integritas profesi advokat. Profesi mulia ini tak hanya soal membela, tapi menjaga kepercayaan. Ketika advokat menyeleweng, publik pun kehilangan pelindung terakhirnya di depan hukum."

 #Etika #Advokat #Hukum #GalaPosID #MediaPublikasiIndonesia

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال