GalaPos ID, Jakarta.
Di tengah ketegangan geopolitik global yang makin liar—dari perang di Ukraina, eskalasi AS-Tiongkok, hingga konflik Timur Tengah—Indonesia tidak bisa terus berada di pinggir permainan. Dunia berubah terlalu cepat, dan pertanyaannya kini sederhana tapi mendesak: apa pondasi kita sebagai bangsa untuk tetap berdiri tegak di tengah kekacauan global?
![]() |
Foto: Indonesia.go.id |
"Nasionalisme bukan hanya soal bendera dan lagu kebangsaan. Di tengah krisis global, ia adalah strategi bertahan hidup."
Baca juga:
- Inflasi Mengintai, Tapi Ethereum Masih Jadi Andalan Investor Global
- Tips Memilih Aplikasi Kripto Sesuai Kebutuhan Anda
- Dampak The Fed: Ethereum Terjun Bebas, Bitcoin Ikut Terseret
Gala Poin:
1. Nasionalisme bukan hanya emosional, tetapi strategi kebangsaan rasional. Budaya dan ekonomi harus menjadi kekuatan utama dalam menghadapi krisis global.
2. Belajar dari Jepang dan Korea Selatan, budaya bisa menjadi senjata lunak global. Diplomasi berbasis budaya membuktikan dampak ekonomi dan pengaruh internasional yang kuat.
3. Indonesia punya potensi luar biasa, tapi minim strategi. Saatnya mengubah kebanggaan simbolik menjadi kebijakan nyata untuk industri kreatif dan ekonomi berbasis budaya.
Ironisnya, ketika negara-negara maju berlomba menata ulang strategi pertahanan dan diplomasi budaya mereka, Indonesia justru masih terjebak dalam seremoni nasionalisme simbolik. Kita bangga mengenakan batik di hari Jumat, tapi gagal menjadikannya kekuatan ekonomi global.
Kita bicara soal gotong royong, tapi tak mampu menanamkannya dalam etika pasar. Ini lebih dari sekadar kehilangan peluang—ini soal kehilangan arah.
“Nasionalisme harus hidup dan diperbarui sesuai zaman,” tegas Mikhail Adam, pegiat literasi yang menyerukan pentingnya menjadikan nasionalisme sebagai strategi kebangsaan yang adaptif, dikutip Rabu, 8 Oktober 2025. Bukan semata pekik heroik, tetapi sebagai alat ukur daya tahan bangsa yang rasional, produktif, dan terukur.
Baca juga:
RS Bhayangkara Surabaya Jadi Pusat Identifikasi Korban Ponpes
Ia mengingatkan, seperti Jepang dan Korea Selatan yang membuktikan bahwa budaya dan ekonomi dapat menjadi senjata global yang sahih, Indonesia pun bisa—jika mau serius.
Jika tidak segera mengembangkan nasionalisme budaya dan ekonomi sebagai kekuatan strategis, Indonesia akan terus menjadi pasar, bukan pemain.
Padahal, dengan bonus demografi, potensi digital, dan keragaman budaya yang diakui dunia, bangsa ini punya semua bahan untuk memimpin. Yang kurang hanya satu: keberanian membangun pondasi yang benar.
![]() |
Foto: Indonesia.go.id |
***
Nasionalisme Budaya dan Ekonomi: Pondasi Bangsa di Tengah Badai Krisis Geopolitik
Oleh: Mikhail Adam (Pegiat Literasi dan Supporter Liverpool)
Kita hidup di masa dunia sedang goyah dan turbulensi krisis geopolitik meningkat. Dari mulai ketegangan antara Amerika Serikat dan Tiongkok, konflik Rusia-Ukraina, hingga konflik di Timur Tengah yang membawa geopolitik global serba tak pasti.
Ketidakpastian dunia semakin meningkat dengan krisis iklim, volatilitas harga energi dan pangan, disrupsi teknologi, hingga terganggunya rantai pasok global. Bangsa-bangsa di dunia diuji daya tahannya. Setiap negara berlomba membangun pondasi bangsa untuk memperkuat daya tahannya.
Untuk memperkuat daya tahan, jawabannya tidak semata terletak pada kekuatan militer atau cadangan devisa, melainkan pada dua pondasi yang kerap terlupakan: nasionalisme budaya dan nasionalisme ekonomi.
Keduanya merupakan penopang identitas sekaligus kekuatan material bangsa di tengah dunia yang kian bergejolak dan tak menentu. Dalam konteks inilah, nasionalisme budaya dan ekonomi perlu dibaca ulang bukan sebagai wacana emosional, tetapi sebagai strategi kebangsaan yang rasional dan berorientasi jangka panjang.
Untuk itu, memperkuat nasionalisme budaya dan ekonomi bukan sekadar pilihan ideologis melainkan kebutuhan strategis untuk meneguhkan jati diri sekaligus memperkuat posisi bangsa dalam konstelasi global.
Dalam dunia yang penuh ketidakpastian, bangsa yang akan bertahan bukan yang paling kaya sumber daya, tetapi yang paling teguh menjaga makna dan martabatnya.
Lebih dari itu dengan potensi besar yang dimiliki Indonesia mulai dari bonus demografi, ekonomi digital yang terus bertumbuh, dan keragaman budaya yang sangat kaya, Indonesia dapat menjadi role model bagi dunia, bukan hanya sekadar bertahan, tetapi memimpin dengan caranya sendiri.
Dari Romantisme ke Strategi Kebangsaan
Benedict Anderson dalam Imagined Communities menguraikan, sebuah bangsa sejatinya adalah komunitas politik imajiner. Ia dibangun terus menerus melalui imajinasi bersama. Dengan kata lain, nasionalisme harus terus dihidupkan dan diperbaharui sesuai konteks dan semangat zamannya.
Nasionalisme tidak cukup hanya dengan retorika heroik. Nasionalisme bukanlah sekadar pekik kemerdekaan di tengah alun bendera, melainkan energi kolektif yang menentukan posisi bangsa dalam sistem dunia yang cair dan terus berubah.
Dia harus bertransformasi menjadi strategi adaptif yang menggabungkan kebanggaan kultural dengan kemandirian ekonomi, moralitas sosial dan local wisdom dengan rasionalitas pembangunan.
Dalam kajian hubungan internasional dan studi ketahanan nasional, national resilience dipahami sebagai kemampuan suatu bangsa untuk bertahan dan beradaptasi terhadap tekanan eksternal maupun internal. Barry Buzan pemikir dari tradisi Copenhagen School dalam Comprehensive Security mengingatkan, ketahanan sebuah negara tidak hanya diukur dari kekuatan militernya, tetapi juga dari kapasitas sosial, budaya, dan ekonominya dalam menghadapi perubahan global.
Sedangkan pemikir hubungan internasional lainnya, Joseph Nye menguraikan, soft power adalah kekuatan yang lahir dari tata nilai, keluhuran budaya, dan kearifan lokal sebagai modal strategis dalam diplomasi global. Kedua pendekatan ini memberi dasar bagi pemikiran tentang resilience national, ketahanan nasional yang dibangun dari nasionalisme yang bukan hanya membakar emosi, tetapi membangun daya tahan bangsa secara rasional, terukur, dan produktif.
Studi kasus yang nyata datang dari Jepang pasca-Perang Dunia II. Setelah kekalahan militer dan kehancuran ekonomi, Jepang tidak membangun nasionalismenya lewat senjata, melainkan lewat budaya dan ekonomi.
Pemerintah mendukung ekspor budaya pop seperti manga, anime, dan kuliner Jepang sebagai strategi “nation branding”. Hasilnya: Jepang bangkit bukan dengan perang, tetapi dengan pengaruh budaya yang halus namun kuat, menjadi kekuatan lunak global yang disegani.
Praktik yang lebih modern dihadrikan Korea Selatan dengan Korean Wave (Hallyu Wave). Pemerintah Korea mengintegrasikan industri hiburan, pendidikan, dan diplomasi sebagai satu ekosistem nasionalisme budaya. Hasilnya bukan hanya citra positif, tetapi juga devisa dan pengaruh politik yang meningkat dan dampak ekonomi yang besar.
Korea Foundation for International Culture Exchange (KOFICE, 2024), ekspor budaya dan konten Korea terus tumbuh melampaui ekspor produk industri tradisional seperti baja dan otomotif di beberapa sektor. Hallyu Wave menciptakan lebih dari 160.000 lapangan kerja secara langsung dan tidak langsung.
Sementara efek domino lainnya adalah ekspor kosmetik Korea Selatan meningkat dan menyentuh angka UU$ 8,5 miliar dollar pada tahun 2023 dari sebelumnya yang hanya menyentuh US$ 2,9 miliar pada tahun 2015. Sedangkan ekspor makanan Korea (K-Food) seperti kimchi, ramen, dan gochujang terus meningkat 11,4% sejak tahun 2018.
Indonesia memiliki potensi yang sama, bahkan lebih kaya. Dari batik hingga angklung, dari wayang hingga sastra Nusantara, warisan budaya kita adalah sumber daya lunak yang luar biasa. UNESCO kerap menyebut Indonesia sebagai super power dalam bidang budaya.
Namun potensi besar itu kerap berhenti pada seremoni. Kita bangga mengenakan batik, tetapi belum menjadikannya industri global bernilai tinggi. Kita mengagumi filosofi gotong royong, tetapi belum menanamkannya ke dalam etika ekonomi nasional.
Untuk itu kita perlu lebih serius mengoptimalkan potensi yang dimiliki Indonesia. Nasionalisme budaya dan ekonomi adalah formulasi untuk mengembangkan potensi terbaik yang dimiliki Indonesia untuk mengembangkan tata kelola yang terukur, kebijakan industrialisasi kreatif yang terencana, dan strategi pemasaran global yang kompeten.
Sinergi Budaya dan Ekonomi: Jalan Menuju Ketahanan Multidimensi
Budaya dan ekonomi bukan dua kutub yang terpisah. Keduanya saling menghidupi. Budaya menjadi identitas dan kesadaran kolektif, sementara ekonomi memberi kekuatan material untuk menopangnya. Ketika keduanya disinergikan, lahirlah kekuatan nasional yang utuh: bangsa yang berakar kuat sekaligus mampu tumbuh tinggi.
Membangun nasionalisme budaya dan ekonomi berarti membangun ketahanan multidimensi. Daya tahan yang lahir dari energi dan akal kolektif bangsa Indonesia.
Nasionalisme budaya dan ekonomi untuk mentransformasikan dari political sentiment menjadi resilience framework, kerangka daya tahan yang menyeimbangkan antara cultural identity dan economic sovereignty:
• Nasionalisme budaya berfungsi menjaga cultural identity; yakni kedaulatan nilai dan identitas bangsa agar tidak larut dalam homogenisasi global.
• Nasionalisme ekonomi, di sisi lain, menopang economic sovereignty; yaitu kemampuan menentukan arah pembangunan tanpa tergantung pada tekanan global.
Sinergi keduanya melahirkan ketahanan nasional yang bersifat multidimensional: bangsa yang tidak hanya kuat secara fisik dan ekonomi, tetapi juga kokoh secara ideologis dan daya tahan sosial.
Nasionalisme hari ini tidak cukup hanya dengan simbol dan seremoni. Ia harus menjadi strategi kebangsaan yang konkret dan cerdas. Nasionalisme budaya dan ekonomi adalah pondasi strategis bagi daya tahan bangsa. Nasionalisme budaya dan ekonomi menjadi strategi yang relevan dan mendesak di abad ke-21.
Dalam dunia yang penuh ketidakpastian, bangsa yang akan bertahan bukanlah yang paling kuat secara militer atau paling kaya secara sumber daya, tetapi yang paling cerdas membaca zaman, berakar pada budaya, dan berdaulat atas ekonominya. Karena pada akhirnya, daya tahan bangsa tidak hanya diukur dari seberapa tinggi menara yang kita bangun, tetapi seberapa kokoh pondasi yang kita tanam.**
Baca juga:
Biaya Operasi Hidung di Indonesia, Tembus Belasan Juta?!
"Di tengah guncangan geopolitik global, artikel ini mengulas bagaimana nasionalisme budaya dan ekonomi menjadi strategi krusial dalam membangun ketahanan nasional Indonesia. Bukan lagi soal retorika, tetapi transformasi nyata dari identitas dan kemandirian bangsa menjadi kekuatan global yang adaptif dan berkelanjutan."
#Nasionalisme #Budaya #Ekonomi #Identitas #GalaPosID #MediaPublikasiIndonesia