Literasi Budaya Lewat Film Dokumenter di Kampus ISBI Aceh

GalaPos ID, Jantho-Aceh Besar.
Seni tak hanya soal estetika. Ia adalah arsip rasa, memori kolektif, dan suara yang seringkali lebih nyaring daripada angka statistik. Hal inilah yang tampak dalam pemutaran film dokumenter The Tsunami Song yang digelar oleh Program Studi Seni Teater ISBI Aceh, 7 Oktober 2025 lalu.
Mengusung tema "Film Dokumenter: Menjembatani Data, Ilmu, dan Seni", kegiatan ini menghadirkan tidak hanya tontonan, tetapi juga diskusi kritis yang mempertemukan sineas, akademisi, siswa sekolah, dan mahasiswa di auditorium kampus ISBI Aceh, Kota Jantho.

“The Tsunami Song”: Film Dokumenter yang Menghidupkan Ingatan Aceh

"Bencana bisa memporakporandakan bangunan, tapi bisakah ia memusnahkan jiwa seni dan budaya suatu bangsa? Lewat The Tsunami Song, ISBI Aceh menjawab: tidak. Bahkan dari reruntuhan, seni bisa bangkit, menjadi saksi, dan penyembuh."

Baca juga:

Gala Poin:
1. Film Dokumenter sebagai Arsip Budaya: The Tsunami Song bukan sekadar film, melainkan dokumentasi penting tentang bagaimana seni dan budaya Aceh bertahan setelah bencana.
2. Pendidikan Berbasis Pengalaman Nyata: ISBI Aceh menggunakan pendekatan OBE yang menggabungkan teori dan praktik langsung untuk memperkuat pemahaman mahasiswa.
3. Seni sebagai Medium Riset dan Ingatan Kolektif: Diskusi publik menekankan pentingnya film dokumenter berbasis riset dalam membangun kesadaran sejarah, budaya, dan daya tahan masyarakat.


Film tersebut menyoroti perjalanan dua seniman Aceh dalam menelusuri napas terakhir kesenian tradisi setelah bencana tsunami 2004.

Alih-alih hanya berfokus pada kerusakan fisik atau korban jiwa, The Tsunami Song menelanjangi realitas lain: nyaris punahnya warisan budaya seperti Ratoh Taloe, Daboh, dan Dikee.

Disutradarai Maulana Akbar dan ditulis oleh Nezar Patria—yang kini menjabat Wakil Menteri Komunikasi dan Digital RI—film ini menjadi pengingat pahit, namun penting.

“The Tsunami Song adalah salah satu film dokumenter penting karena menjadi karya yang dapat merawat ingatan kolektif tentang bencana terbesar yang pernah terjadi di Aceh,” tegas Nur Raihan Lubis, sutradara Children of Tsunami dan praktisi film dokumenter nasional.

Baca juga:
RS Bhayangkara Surabaya Jadi Pusat Identifikasi Korban Ponpes


Ia menjadi salah satu narasumber utama dalam diskusi publik yang menyusul pemutaran film. Menurut Raihan, film dokumenter seperti ini hanya mungkin kuat jika dibangun dari riset mendalam.

“ISBI Aceh memiliki potensi besar untuk melahirkan generasi baru pembuat film dokumenter di Aceh,” tambahnya.

Senada dengan itu, penulis skenario dan pendiri Global Inovasi Media, Hendra Fahrizal, menilai film ini menyajikan sudut pandang yang kerap diabaikan dalam narasi besar tsunami: hilangnya nilai budaya.

“Kerusakan bukan hanya pada bangunan dan nyawa manusia, tetapi juga pada warisan budaya yang seharusnya dijaga,” ujarnya.

Namun, di tengah kesedihan, film ini membawa harapan: adanya eksperimen musikal yang menggabungkan etnik Aceh dan techno, simbol bahwa kebudayaan bisa bertahan melalui adaptasi.

Seni dan Bencana: “The Tsunami Song” Menggugah Generasi Muda

Suara dari generasi muda pun tidak kalah penting. Fajri Tomi, mahasiswa Seni Teater dan penyintas tsunami, mengaku baru kali ini menonton film yang merefleksikan luka masa kecilnya.

“Film ini membangkitkan semangat untuk bangkit dari keterpurukan,” katanya.

Sementara Nuga, mahasiswa lain, menyoroti pesan filosofisnya. “Ketika bencana datang, yang hancur bukan hanya bangunan, tapi juga kebudayaan yang bisa hilang bersama para pelakunya.”

Bagi Koordinator Prodi Seni Teater ISBI Aceh, kegiatan ini merupakan bagian dari pendekatan pembelajaran berbasis Outcome-Based Education (OBE) yang menuntut keterlibatan langsung mahasiswa.

Baca juga:
Biaya Operasi Hidung di Indonesia, Tembus Belasan Juta‎?!


“Mahasiswa tidak hanya belajar teori di kelas, tetapi juga melalui pengalaman langsung bersama para praktisi,” ujarnya.

Bukan hanya pemutaran film, rangkaian kegiatan mencakup kelas bersama praktisi dan Workshop Tata Kelola Seni bertaraf internasional.

Langkah ini menegaskan bahwa ISBI Aceh tak ingin seni hanya menjadi hiasan kurikulum, melainkan juga menjadi metode riset, komunikasi, bahkan advokasi budaya.

Di tengah gempuran arus digital dan banjir informasi dangkal, kegiatan seperti ini patut diapresiasi. Tapi lebih dari itu, harus dijadikan standar. Karena jika kita tidak mau mengingat—siapa lagi?

Revitalisasi Budaya Pascatsunami Lewat Film Dokumenter ISBI Aceh

 

 

 

Baca juga:
Fasilitas Puskesmas Rengasdengklok Viral, Ini Faktanya

"Pemutaran film dokumenter The Tsunami Song di ISBI Aceh bukan sekadar kegiatan akademik—ini adalah upaya serius merawat ingatan kolektif dan memperkuat literasi budaya melalui sinema dokumenter. Diskusi publik yang menyertainya menggugah pertanyaan kritis: apakah kita cukup peduli pada warisan budaya yang nyaris hilang bersama gelombang tsunami?"

#Film #Dokumenter #Aceh #Seni #LiterasiBudaya #GalaPosID #MediaPublikasiIndonesia

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال