Warisan Seni Islam Aceh, Spiritualitas Digerus Pragmatisme

GalaPos ID, Aceh.
Seni dalam Islam bukan hanya alat hiburan. Ia adalah jembatan spiritual, penguat identitas, sekaligus strategi dakwah. Dua nama besar dalam lintasan sejarah Aceh, Syekh Ahmad bin Rifa’i dan Syekh Hamzah Fansuri, menunjukkan bagaimana kesenian menjadi medium penyebaran Islam yang lembut, menyatu dengan budaya lokal tanpa resistensi.

Hamzah Fansuri dan Warisan Sufistik yang Terabaikan

“Ketika para ulama dan seniman masa lalu mengolah seni menjadi alat dakwah, kini jejak itu mulai memudar—tertinggal dalam ingatan, tak tergali dalam kajian, dan tergilas oleh pragmatisme politik.”

Baca juga:

Gala Poin:
1. Seni Islam di Aceh memiliki akar sejarah yang panjang dan dalam, terutama melalui tokoh seperti Syekh Ahmad bin Rifa’i dan Hamzah Fansuri yang menggunakan kesenian sebagai media dakwah.
2. Kajian akademik terhadap kesenian Islam Aceh sangat terbatas, bahkan tidak mencerminkan kekayaan sejarah yang sudah berlangsung ratusan tahun.
3. Kritik terhadap pragmatisme politik dan minimnya literasi sejarah menjadi sorotan, karena telah menyebabkan seni Islam terpinggirkan dari kehidupan sosial-budaya masyarakat Aceh saat ini.


Syair-syair sufistik Hamzah Fansuri, seperti Syair Perahu, Syair Dagang, Syair Burung Pinggai, dan Syair Burung Pungguk, tak sekadar puisi.

Mereka adalah laku spiritual, ajakan untuk menyelami makna Tuhan, dan menundukkan ego di hadapan realitas hidup yang fana.

Rima a-a-a-a, metafora anak dagang dan laut, serta pengaruh Persia dan Arab, menjadikan karya-karyanya monumen sastra Melayu yang tak lekang.

Sementara itu, Syekh Ahmad bin Rifa’i memperkenalkan Rapa’i—alat musik pukul khas Aceh—sebagai bagian dari tradisi syair dan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an.

Baca juga:
Tuntutan 17+8 Ramai, Rakyat Kecil Bingung?


Dengan pendekatan estetis ini, ajaran Islam mengalir tanpa penolakan berarti dari masyarakat. Rapa’i menjadi lebih dari alat musik; ia adalah instrumen dakwah.

"Rapa’i dijadikan alat musik untuk syair-syair dan ayat-ayat Al-Qur’an menjadi lebih indah. Dengan alat musik pukul ini, Syekh Rifa’i menjalankan misi penyebaran agama Islam tanpa penolakan signifikan dari masyarakat Aceh," tulis Rasyidin, seniman nasional sekaligus dan akademisi teater asal Aceh, Jumat, 12 September 2025.

Namun, warisan ini kian kabur. Menurut Rasyidin, yang juga Doktor seni teater nasional asal Aceh, kajian tentang kesenian Islam Aceh sangat minim, meski telah berlangsung selama hampir delapan abad.

Bahkan kajian akademik yang muncul selama 100 tahun terakhir "belum seperseratus dari yang seharusnya".

Warisan Seni Islam di Aceh: Antara Spiritualitas dan Pragmatisme

Lebih tajam lagi, ia mengkritisi fenomena politik sektoral yang pragmatis, yang telah menghancurkan komponen sejarah, termasuk seni yang pernah menjadi kekuatan kultural. Kini, katanya, justru terjadi antitesis.

"Hari ini antitesanya adalah kita bukan Aceh, tapi kita Arab yang berada di Aceh. Kalau syekh-syekh dari Al-Baghdadi dan Gujarat berteman dengan seni untuk memudahkan pengaruh dan penyebaran Islam, pemikiran tengku-tengku zaman sekarang tidak kuat dengan analisis dan sosiologis literasi sejarah. Akhirnya, mereka berimprovisasi pragmatis dan meminggirkan seni dari kehidupan manusia di Aceh," tegasnya.

 

Baca juga:
Bersin! Sebab, Gejala, Pengobatan dan Pencegahan

“Karya-karya sufi seperti Hamzah Fansuri dan peran musik Rapa’i dari Syekh Ahmad bin Rifa’i menunjukkan bahwa seni pernah menjadi alat penyebaran Islam yang kuat di Aceh. Namun, minimnya kajian akademik dan arus politik pragmatis telah menyingkirkan seni dari peran sentralnya. Kini, tantangan terbesar bukan lagi pada penyebaran, tetapi pada pelestarian dan pemahaman mendalam akan warisan tersebut.”

#SeniIslamAceh #HamzahFansuri #KajianBudayaAceh #RapaidanTasawuf #GalaPosID #MediaPublikasiIndonesia

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال