GalaPos ID, Kepulauan Riau.
Kota Tanjungpinang memang terkenal dengan pesona wisatanya, tapi otak-otak menjadi salah satu kuliner yang lekat dengan identitas daerah ini.
Makanan berbahan dasar ikan segar yang dilumatkan, dibumbui rempah, lalu dibungkus daun kelapa muda dan dipanggang di atas bara arang, berhasil memikat selera warga lokal hingga wisatawan.
“Di balik harum aroma otak-otak yang membara di atas arang, tersimpan perjuangan para pedagang kecil mempertahankan tradisi dan penghidupan. Apakah kuliner ikonik ini cukup diperhatikan sebagai aset budaya sekaligus sumber penghidupan yang rentan?”
Baca juga:
- IEE Series 2025, Revolusi Industri Hijau di Panggung Nasional
- Pulang Tak Sampai, Arjuna Ditemukan Tewas di Sungai Anget
- Dua Plt Kadis Diganti, Disdik Batubara Dalam Sorotan
Gala Poin:
1. Otak-otak Tanjungpinang menjadi kuliner ikonik dan sumber penghidupan penting bagi pedagang kecil di sekitar Pelabuhan Sri Bintan Pura.
2. Usaha turun-temurun dan resep keluarga menjadi faktor utama menjaga keaslian rasa otak-otak, namun menghadapi tantangan dari pasar modern dan harga bahan baku.
3. Perlu dukungan serius dari pemerintah dan pelaku usaha untuk menjaga keberlanjutan kuliner ini sebagai aset budaya sekaligus sumber ekonomi lokal.
Namun, di balik popularitasnya, ada cerita yang jarang terdengar tentang betapa pentingnya otak-otak bagi perekonomian warga sekitar, khususnya para pedagang kecil di sekitar Pelabuhan Sri Bintan Pura.
Elis, pedagang yang telah berjualan sejak 2005, mengungkapkan bahwa otak-otak tidak hanya menjadi makanan favorit tetapi juga sumber penghidupan utama keluarganya.
“Kalau hari libur bisa terjual sampai 1.500 buah per hari, sementara hari biasa 500 sampai 700 buah tetap habis,” ujar Elis, dikutip Jumat, 12 September 2025.
Dengan harga Rp1.000 per buah, otak-otak tetap menjadi pilihan terjangkau bagi banyak orang.
Baca juga:
Daeng Tojeng: Penjaga Badik, Pelestari Budaya
Tradisi pembuatan otak-otak yang dijaga turun-temurun ini adalah kunci keberlanjutan kuliner khas Tanjungpinang.
Namun, tantangan serius mengintai, mulai dari persaingan produk impor, kenaikan harga bahan baku ikan segar, hingga potensi penurunan kualitas akibat produksi massal.
Perlu menjadi perhatian serius dari pemerintah dan pelaku usaha agar kuliner ini tidak hanya menjadi konsumsi sesaat wisatawan, tetapi juga diperkuat sebagai warisan budaya dan sumber pendapatan yang layak bagi pedagang kecil.
Penguatan pemasaran, perlindungan hak kekayaan intelektual, serta dukungan dalam menjaga bahan baku berkualitas adalah langkah yang tidak bisa ditunda.
Apalagi di era modern ini, ketika budaya lokal mudah tergeser oleh produk massal dan cepat saji.
Seperti diketahui, UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) adalah tulang punggung ekonomi Indonesia dengan kontribusi lebih dari 61% terhadap PDB nasional dan menyerap 97% tenaga kerja.
UMKM bergerak di sektor perdagangan, kuliner, jasa, pertanian, hingga kerajinan tangan. Meski menghadapi tantangan seperti literasi digital dan produktivitas, UMKM terus berkembang lewat digitalisasi, pelatihan, akses pembiayaan, dan dukungan pemerintah.
Peluang besar terbuka bagi UMKM untuk naik kelas melalui pemasaran online, e-commerce, dan penguatan ekosistem bisnis.
Baca juga:
Dakwah Maulid, Seruan Cinta Rasul di Tengah Zaman
"Otak-otak Tanjungpinang bukan sekadar kuliner legendaris, tapi juga penopang ekonomi keluarga pedagang kecil. Namun, keaslian rasa dan kelestarian usaha turun-temurun menghadapi tantangan di tengah modernisasi dan persaingan pasar."
#GalaPosID #MediaPublikasiIndonesia #KulinerNusantara #EkonomiLokal #CintaProdukLokal