GalaPos ID, Jakarta.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menahan lima orang tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi pencairan kredit fiktif senilai Rp263,6 miliar di Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Bank Jepara Artha (Perseroda) milik Pemerintah Kabupaten Jepara.
Rakyat kecil dijadikan tameng, sementara tersangka diduga menikmati hasil.
"Ketika buruh dan ojek online dijadikan peminjam fiktif bernilai miliaran, publik patut bertanya: siapa sebenarnya yang sedang dilayani oleh bank milik daerah ini?"
Baca juga:
- Kasus AMK Buka Tabir Perlindungan Anak yang Rentan
- Penelantaran Anak, Refleksi Sistem Perlindungan Anak
- Persiapan Timnas Futsal Belum Matang, Ini Kata Pelatih
Gala Poin:
1. Lima tersangka, termasuk direksi BPR dan pihak swasta, resmi ditahan oleh KPK dalam kasus kredit fiktif senilai Rp263,6 miliar.
2. Kredit menggunakan identitas palsu masyarakat kecil seperti pedagang, buruh, dan pengemudi ojek online.
3. Kerugian negara ditaksir mencapai Rp254 miliar, dengan sebagian tersangka tidak kooperatif saat ditangkap.
Para tersangka ditahan usai ditetapkan sebagai pelaku utama dalam skema kredit bodong yang dijalankan selama periode 2022 hingga 2024.
Kelima tersangka tersebut adalah:
- Jhendik Handoko (JH) – Direktur Utama BPR Jepara Artha
- Iwan Nursusetyo (IN) – Direktur Bisnis dan Operasional
- Ahmad Nasir (AN) – Kepala Divisi Bisnis, Literasi, dan Inklusi Keuangan
- Ariyanto Sulistiyono (AS) – Kepala Bagian Kredit
- Mohammad Ibrahim Al’asyari (MIA) – Direktur PT BMG (swasta)
"Seluruh tersangka ditahan untuk 20 hari pertama terhitung 18 September 2025 hingga 7 Oktober 2025 di Rutan KPK," kata Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih, Jakarta, Kamis malam, 18 September 2025.
Baca juga:
Drama 5 Gol, Latvia Taklukan Belanda di Jakarta
Dalam upaya menutupi kerugian tersebut, manajemen bank—yang seharusnya menjaga akuntabilitas uang publik—bekerja sama dengan MIA, Direktur PT BMG, untuk merekayasa 40 kredit fiktif.
Yang membuat skandal ini mencolok adalah penggunaan identitas masyarakat kecil sebagai pihak peminjam palsu. Pedagang pasar, buruh harian, hingga pengemudi ojek online dipakai namanya untuk memuluskan pencairan kredit bernilai rata-rata Rp7 miliar per nama.
Total dana yang mengalir dari praktik ini mencapai Rp263,6 miliar. Akibatnya, negara menderita kerugian minimal Rp254 miliar menurut perhitungan awal KPK.
Para tersangka disangkakan melanggar:
Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
KPK menegaskan bahwa penyidikan akan terus dikembangkan, termasuk penelusuran aliran dana dan potensi keterlibatan pihak lain.
Baca juga:
Kekerasan Anak di Kebayoran Lama, DPR: Penegakan Hukum Harus Tegas
Skema ini bukan hanya pelanggaran hukum biasa. Ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap masyarakat kecil yang namanya disalahgunakan, dan terhadap publik yang uangnya dikelola secara ugal-ugalan oleh pejabat yang semestinya menjunjung prinsip kehati-hatian.
Ketika bank daerah, yang seharusnya menjadi motor penggerak UMKM lokal, malah dijadikan ladang korupsi dengan modus “pura-pura membantu rakyat kecil”, maka sistem keuangan daerah jelas sedang dalam keadaan sakit serius.
Baca juga:
Pembangunan LRT Jakarta Fase 1B, Kapan Benar-benar Rampung?
"Kasus korupsi kredit fiktif di BPR milik Pemkab Jepara menyeret lima pejabat dan satu rekanan swasta. Total kerugian negara ditaksir mencapai Rp254 miliar. Rakyat kecil dijadikan tameng, sementara mereka menikmati hasil."
#KreditFiktif #KorupsiBUMD #SkandalJeparaArtha #GalaPosID #MediaPublikasiIndonesia