Arbitrase Sepihak dan Kedaulatan Negara, Pelajaran dari Sengketa Malaysia-Kesultanan Sulu

GalaPos ID, Jakarta.
Sengketa panjang antara Malaysia dan ahli waris Kesultanan Sulu tentang wilayah Sabah telah mengundang perhatian dunia internasional. Klaim tersebut berakar dari perjanjian tahun 1878 yang ditandatangani oleh Sultan Sulu dengan British North Borneo Company (BNBC), yang menyewakan wilayah Kalimantan Utara (Sabah) dengan imbalan pembayaran tahunan.

Kasus Sabah: Dari Perjanjian 1878 Hingga Arbitrase yang Mengguncang Kedaulatan Malaysia

 

"Sengketa antara Malaysia dan ahli waris Kesultanan Sulu kini memasuki babak baru setelah keputusan arbitrase yang mengancam kedaulatan negara. Kasus ini tidak hanya soal klaim wilayah, tetapi juga soal bagaimana hukum internasional dapat diuji lewat arbitrase yang sepihak dan kontroversial. Bagaimana Malaysia menghadapi gugatan besar tersebut? Artikel ini mengulas perjalanan sengketa yang bermula dari perjanjian 1878 hingga keputusan hukum terbaru."

Baca juga:


Gala Poin:
1. Sejarah Sengketa Sabah: Sengketa antara Malaysia dan ahli waris Kesultanan Sulu berakar dari perjanjian 1878 yang memberikan hak atas wilayah Sabah dengan pembayaran tahunan.
2. Arbitrase Internasional yang Kontroversial: Arbitrase sepihak yang dimulai di Spanyol dan berakhir di Prancis menunjukkan pentingnya kesepakatan kedua belah pihak dalam proses arbitrase internasional.
3. Pelajaran bagi Indonesia: Indonesia perlu memperkuat ketahanan hukum dan diplomasi dalam menghadapi klaim internasional yang melibatkan perjanjian historis dan kedaulatan negara
.

Ketika Malaysia terbentuk pada 1963, kewajiban pembayaran ini dilanjutkan, namun pada 2013, Malaysia menghentikan pembayaran tersebut, yang kemudian memicu tuntutan dari ahli waris Kesultanan Sulu.

Pada 2019, ahli waris Sulu memulai proses arbitrase di Spanyol, yang berpuncak pada putusan pada 2022 yang mengharuskan Malaysia membayar kompensasi sebesar $14,92 miliar.

Baca juga:
Fakta Musibah Moge di Pantura, Bendahara Demokrat Renville Antonio

Malaysia menolak keputusan tersebut dengan alasan bahwa arbitrase ini tidak sah karena tidak ada persetujuan dari Malaysia.

Kasus ini kemudian berlanjut ke Prancis, yang pada akhirnya membatalkan putusan tersebut pada 2024, menguatkan posisi Malaysia.

Pada abad ke-16 hingga 19, Kesultanan Sulu memiliki pengaruh besar di wilayah Mindanao dan Kalimantan Utara.

Baca juga:
Laba Turun, CTRA Terus Berinovasi di Sektor Properti Tahun 2025

Namun, seiring dengan pengaruh kolonial Eropa, wilayah ini mulai terlibat dalam perjanjian dengan Spanyol dan Inggris. Pada 1878, Sultan Jamalul Alam menandatangani perjanjian dengan BNBC yang memberikan hak pengelolaan atas wilayah Sabah dengan pembayaran tahunan.

Meski demikian, interpretasi terhadap perjanjian ini berbeda. Inggris menganggapnya sebagai penyerahan wilayah, sementara Kesultanan Sulu menganggapnya sebagai perjanjian sewa yang dapat dibatalkan.

Setelah Perang Dunia II dan pembentukan Malaysia pada 1963, Sabah menjadi bagian dari negara tersebut, meskipun Filipina dan keturunan Sultan Sulu tetap menuntut hak mereka atas wilayah tersebut.

Baca juga:
"Ngopeni Sumenep" : Pameran Lukisan Madura Menembus Batas

Proses Arbitrase dan Penolakan Malaysia
Sengketa ini memasuki babak arbitrase pada 2019, yang diajukan oleh ahli waris Kesultanan Sulu melalui arbitrase ad hoc.

Dengan penunjukan Gonzalo Stampa sebagai arbitrator, mereka menuntut pembayaran kompensasi setelah Malaysia menghentikan pembayaran tahunan.

Walaupun Malaysia menolak untuk berpartisipasi dalam arbitrase ini, pengadilan Spanyol memutuskan untuk mendukung klaim ahli waris Sulu.

Baca juga:
PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE) Optimistis Pasar Properti 2025

Namun, Malaysia mengajukan keberatan terhadap yurisdiksi Spanyol dan proses arbitrase yang dianggap sepihak.

Pada 2024, pengadilan tertinggi Prancis akhirnya membatalkan putusan arbitrase, mendukung posisi Malaysia dan menyatakan bahwa arbitrator tidak memiliki yurisdiksi yang sah.

Tantangan dalam Arbitrase Internasional
Kasus ini menyoroti tantangan dalam arbitrase internasional, terutama terkait dengan prinsip dasar arbitrase yang mengharuskan adanya persetujuan dari kedua belah pihak.

Baca juga:
Gugatan Dinilai Kabur, Hakim Tolak Praperadilan Hasto Kristiyanto

Dalam sengketa ini, arbitrase dilakukan secara sepihak oleh ahli waris Sulu tanpa persetujuan Malaysia.

Hal ini bertentangan dengan prinsip hukum internasional yang mengutamakan kesepakatan antara pihak-pihak yang bersengketa.

Selain itu, ketidakpatuhan terhadap keputusan pengadilan di Spanyol oleh arbitrator Gonzalo Stampa dan pemindahan forum arbitrase ke Prancis juga menunjukkan betapa pentingnya ketegasan dalam menjalankan prinsip-prinsip arbitrase yang sah.

Baca juga:
Fakta "Ampun Pakde" Viral di TikTok, Netizen Penasaran Sosok dibalik Video

Pelajaran untuk Indonesia
Kasus sengketa Sulu ini memberikan pelajaran penting bagi Indonesia, terutama dalam menghadapi sengketa yang melibatkan perjanjian historis dan kedaulatan negara.

"Indonesia perlu menyiapkan strategi defensif terhadap arbitrase yang tidak sah atau dipaksakan secara sepihak. Malaysia menunjukkan bagaimana perlawanan yang konsisten terhadap arbitrase yang tidak sah dapat membatalkan keputusan arbitrator." tulis Dosen Hukum Bisnis Transnasional, Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran, Mursal Maulana, yang dikutip redaksi GalaPos ID, Minggu, 16 Februari 2025.

Indonesia telah menghadapi beberapa kasus arbitrase internasional sebelumnya, seperti Karaha Bodas dan Churchill Mining, yang menyoroti pentingnya memiliki klausul penyelesaian sengketa yang jelas dalam perjanjian internasional.

Baca juga:
Tiket Kereta Api Mudik Lebaran 2025 Bisa Dipesan, Ini Jadwal dan Fasilitas

Indonesia juga dapat belajar dari strategi Malaysia dalam menghadapi arbitrase yang tidak sah, yaitu dengan konsisten menantang yurisdiksi yang tidak sah dan memperkuat sistem hukum domestik.

Diplomasi hukum juga menjadi kunci penting untuk memastikan bahwa klaim internasional yang tidak sah tidak mengancam kedaulatan negara.


"Sengketa antara Malaysia dan ahli waris Kesultanan Sulu berkisar pada perjanjian sejarah dan klaim kedaulatan atas wilayah Sabah. Perjalanan panjang sengketa ini, yang melibatkan arbitrase internasional, menunjukkan bagaimana hukum internasional dapat diuji dalam pertempuran klaim wilayah bersejarah. Setelah proses arbitrase yang dimulai di Spanyol dan berakhir di Prancis, keputusan yang mendukung Malaysia membuka diskusi baru tentang prinsip-prinsip arbitrase internasional dan pelajaran yang bisa dipetik oleh negara-negara lain, termasuk Indonesia."



Hashtags: #GalaPosID #MediaPublikasiIndonesia #SengketaSabah #ArbitraseInternasional #KedaulatanNegara