Sengketa Malaysia- Kesultanan Sulu: Ketika Sejarah Digugat di Meja Arbitrase
GalaPos ID, Jakarta.
Sengketa antara Malaysia dan ahli waris Kesultanan Sulu mengungkap kompleksitas hukum internasional terkait klaim historis dan perjanjian kolonial. Kasus ini menyoroti pentingnya arbitrase internasional dan tantangan terhadap arbitrase sepihak.
Dalam tulisan Dosen Hukum Bisnis Transnasional, Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran, Mursal Maulana dibawah ini, kita menyelami sejarah Kesultanan Sulu, perjanjian 1878, dan perkembangan sengketa hukum hingga keputusan terakhir. Dengan pelajaran berharga bagi Indonesia dalam menghadapi klaim internasional, ini menjadi contoh bagaimana diplomasi hukum dan ketahanan hukum negara sangat dibutuhkan untuk melindungi kedaulatan nasional.
Apa yang terjadi saat klaim kolonial dihadapkan dengan kedaulatan negara modern? Berikut ulasan lengkap Mursal Maulana.
Sengketa Malaysia- Kesultanan Sulu: Ketika Sejarah Digugat di Meja Arbitrase
Sejarah Asia Tenggara tidak lepas dari berbagai sengketa kedaulatan akibat warisan kolonial dan perubahan geopolitik. Dua kasus penting yang mencerminkan kompleksitas hukum internasional dalam sengketa wilayah dan klaim historis adalah kasus Pulau Palmas (1928) dan sengketa Kesultanan Sulu terhadap Malaysia. Artikel ini akan menelaah bagaimana arbitrase internasional digunakan sebagai alat dalam memperjuangkan klaim kedaulatan dan kompensasi.1. Asal mula dan keruntuhan kesultanan sulu serta hubungannya dengan Kekuataan Eropa
Kesultanan Sulu adalah kerajaan Islam yang berpengaruh di wilayah Mindanao (Filipina Selatan), Kepulauan Sulu, dan Kalimantan Utara (Sabah) dari abad ke-15 hingga ke-19. Seiring dengan semakin besarnya pengaruh Kesultanan Sulu di kawasan maritim Asia Tenggara, berbagai kekuatan Eropa mulai mencoba untuk memperluas pengaruh mereka di wilayah ini. Salah satu kekuatan yang pertama kali berhadapan dengan Kesultanan Sulu adalah Spanyol, yang pada abad ke-16 mulai menjajah Filipina.Pada tahun 1565–1571, Spanyol berhasil menguasai Luzon dan Visayas, namun upaya mereka untuk menundukkan Kesultanan Sulu tidak berjalan mulus. Dari abad ke-17 hingga ke-19, Spanyol terus mencoba untuk menaklukkan wilayah Sulu, tetapi mendapatkan perlawanan yang sengit dari pasukan kesultanan. Pada akhirnya, pada tahun 1851, Spanyol berhasil memaksa Sultan Mohammed Pulalun untuk menandatangani sebuah perjanjian yang menyatakan bahwa Sulu menjadi bagian dari Hindia Timur Spanyol (Filipina). Walaupun demikian, Kesultanan Sulu masih tetap memiliki otonomi internal dalam berbagai aspek pemerintahan.
Di sisi lain, Inggris juga mulai memperluas pengaruhnya di Asia Tenggara melalui British East India Company (EIC). Pada tahun 1761, Inggris menandatangani perjanjian dengan Sultan Sulu untuk mendirikan pos dagang di Pulau Balambangan, yang terletak di utara Kalimantan. Namun, pos dagang ini tidak bertahan lama karena serangan bajak laut dan perlawanan lokal.
Meskipun demikian, Inggris terus menjalin hubungan dengan Kesultanan Sulu, yang akhirnya mengarah pada Perjanjian 1878. Dalam perjanjian ini, Sultan Jamalul Alam memberikan kontrol atas wilayah Kalimantan Utara kepada British North Borneo Company (BNBC) dengan imbalan pembayaran tahunan sebesar 5.000 Dolar Meksiko. Namun, perjanjian ini menjadi sumber perdebatan hingga saat ini, karena ada perbedaan interpretasi antara kedua belah pihak. Menurut Inggris, perjanjian ini merupakan penyerahan wilayah permanen (cession). Menurut Kesultanan Sulu, perjanjian ini hanyalah perjanjian sewa (lease) yang bisa dibatalkan.
Setelah kalah dalam Perang Spanyol-Amerika, Spanyol menyerahkan Filipina kepada Amerika Serikat melalui Perjanjian Paris 1898. Selanjutnya di tahun 1915, Perjanjian Carpenter ditandatangani antara Sultan Jamalul Kiram II dan Amerika Serikat, yang secara efektif mengakhiri kekuasaan politik Kesultanan Sulu, meskipun tetap diakui secara simbolis. Inggris secara resmi menganeksasi Kalimantan Utara sebagai Koloni Mahkota setelah Perang Dunia II di tahun 1946. Kalimantan Utara (Sabah) menjadi bagian dari Malaysia pada tahun 1963 dan menjadi bagian dari Federasi Malaysia, meskipun ditentang oleh Filipina dan keturunan Sultan Sulu.
Perjanjian 1878
Perjanjian 1878 antara Sultan Sulu, Jamalul Alam, dan British North Borneo Company (BNBC) merupakan salah satu perjanjian paling kontroversial dalam sejarah Asia Tenggara. Kesepakatan ini berakar pada dinamika kolonialisme Eropa, perebutan wilayah, serta kepentingan ekonomi dan politik yang berkembang di kawasan Kalimantan Utara (Sabah) pada abad ke-19.Pada masa itu, Kesultanan Sulu mengalami kemunduran kekuatan politik dan ekonomi akibat tekanan dari Spanyol yang semakin memperkuat koloninya di Filipina. Sementara itu, Inggris, melalui British North Borneo Company, berambisi memperluas pengaruhnya di Kalimantan Utara sebagai bagian dari ekspansi kolonial dan kepentingan perdagangan di kawasan maritim Asia Tenggara.
Di sisi lain, wilayah Sabah memiliki nilai ekonomi tinggi karena kekayaan sumber daya alamnya, terutama dalam bidang pertanian, kayu, dan perdagangan maritim. Menghadapi tekanan dari Spanyol dan kebutuhan ekonomi yang semakin mendesak, Sultan Sulu setuju untuk menandatangani perjanjian dengan BNBC pada 22 Januari 1878.
Isi dan Tujuan Perjanjian
Dokumen perjanjian ini menyatakan bahwa Sultan Sulu memberikan hak kepada British North Borneo Company untuk mengelola wilayah Sabah dengan imbalan pembayaran tahunan sebesar 5.000 Dolar Meksiko.Pada tahun 1903, Sultan Sulu menandatangani perjanjian tambahan yang meningkatkan pembayaran tahunan menjadi 5.300 Dolar Meksiko, tetapi hal ini tidak mengubah perbedaan interpretasi mengenai status Sabah. Salah satu hal penting dalam perjanjian ini adalah tidak adanya klausul arbitrase internasional untuk menyelesaikan perselisihan, yang kemudian menjadi perdebatan hukum di masa mendatang.
Latar belakang sengketa
Sengketa antara Malaysia dan ahli waris Kesultanan Sulu berkaitan dengan perjanjian sejarah dan proses hukum. Pada tahun 1878, Sultan Sulu menyerahkan atau menyewakan wilayah Borneo Utara (kini Sabah) kepada pihak Britania dengan imbalan pembayaran tahunan, yang kemudian dilanjutkan oleh Malaysia setelah pembentukannya pada tahun 1963.Namun, setelah insiden Lahad Datu pada 2013, Malaysia menghentikan pembayaran tersebut. Ahli waris Sulu memulai arbitrase di Spanyol pada 2019, yang berujung pada keputusan di Paris pada 2022 yang memerintahkan Malaysia membayar $14.92 miliar. Malaysia menentang arbitrase ini, dan pada 2024, pengadilan tertinggi Prancis memutuskan mendukung Malaysia, membatalkan putusan tersebut. Malaysia secara konsisten berpendapat bahwa sengketa ini harus diselesaikan dalam sistem hukumnya sendiri.
Arbitrase adhoc
Arbitrase yang diajukan oleh ahli waris Kesultanan Sulu merupakan arbitrase ad hoc, bukan dilakukan di bawah lembaga arbitrase besar seperti ICSID, ICC, atau PCA. Prosesnya berawal di Spanyol tetapi kemudian berpindah ke Prancis, di tengah berbagai tantangan hukum dari Malaysia.Pada tahun 2019, ahli waris Kesultanan Sulu memulai proses arbitrase di Spanyol setelah Malaysia menghentikan pembayaran tahunan yang terkait dengan perjanjian 1878. Mereka menunjuk Gonzalo Stampa sebagai arbitrator dan menuntut kompensasi, dengan alasan bahwa Malaysia telah melanggar perjanjian tersebut.
Meskipun Malaysia menolak untuk berpartisipasi, Stampa memutuskan mendukung ahli waris Sulu pada tahun 2022 dan memberikan putusan sebesar $14,92 miliar. Malaysia menentang putusan tersebut dengan alasan kurangnya yurisdiksi dan kekebalan kedaulatan. Setelah serangkaian tantangan hukum, pada tahun 2023–2024, pengadilan di Prancis memutuskan mendukung Malaysia, menyatakan bahwa Stampa tidak memiliki yurisdiksi, sehingga putusan arbitrase tersebut batal secara hukum.
Penolakan Jurisdiksi oleh Malaysia
Malaysia menentang yurisdiksi pengadilan Spanyol dalam menangani kasus ini. Pemerintah Malaysia berpendapat bahwa Spanyol tidak memiliki kewenangan hukum atas sengketa yang melibatkan negara berdaulat seperti Malaysia, sehingga seluruh proses arbitrase yang berlangsung di sana dianggap tidak sah.Untuk menghadapi arbitrase ini, Malaysia mengambil serangkaian langkah hukum guna membatalkan proses tersebut. Upaya mereka dimulai dengan mengajukan keberatan hukum di pengadilan Spanyol, yang akhirnya berujung pada pembatalan penunjukan arbitrator Gonzalo Stampa oleh Pengadilan Tinggi Madrid pada tahun 2021
Arbitrase sepihak (unilateral) bertentangan dengan prinsip dasar arbitrase internasional
Arbitrase internasional pada dasarnya mensyaratkan adanya kesepakatan antara para pihak yang bersengketa, sebagaimana terlihat dalam kasus Pulau Palmas (1928), di mana Amerika Serikat dan Belanda secara sukarela menyetujui arbitrase untuk menyelesaikan klaim teritorial mereka.Berbeda dengan prinsip ini, arbitrase yang diajukan oleh ahli waris Kesultanan Sulu terhadap Malaysia justru dilakukan secara sepihak tanpa persetujuan Malaysia, sehingga bertentangan dengan prinsip fundamental dalam hukum arbitrase, termasuk dalam konteks arbitrase komersial. Dalam arbitrase komersial, kesepakatan antara para pihak merupakan dasar legitimasi proses, sebagaimana tercermin dalam berbagai konvensi internasional seperti Konvensi New York 1958 dan UNCITRAL Model Law.
Tanpa persetujuan ini, arbitrase tidak memiliki yurisdiksi yang sah atas suatu sengketa, seperti yang akhirnya ditegaskan oleh pengadilan Prancis ketika membatalkan putusan arbitrator Gonzalo Stampa dalam sengketa Kesultanan Sulu. Hal ini menunjukkan bahwa arbitrase unilateral bukan hanya tidak sah dalam konteks arbitrase negara, tetapi juga melanggar prinsip mendasar dalam arbitrase komersial yang mengutamakan kesepakatan dan partisipasi setara dari para pihak.
Imunitas Arbiter
Dalam prinsip arbitrase internasional, arbiter diberikan imunitas hukum untuk memastikan independensi dan kebebasan dalam menjalankan tugasnya, selama mereka bertindak dalam batas yurisdiksi yang sah dan sesuai dengan mandat yang diberikan.Dalam kasus sengketa Kesultanan Sulu, Gonzalo Stampa dengan sengaja melanjutkan proses arbitrase meskipun penunjukannya telah dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Madrid pada tahun 2021, dan bahkan secara sepihak memindahkan forum arbitrase ke Prancis tanpa persetujuan Malaysia. Tindakan ini bukan hanya melampaui kewenangan arbitrase yang sah, tetapi juga menunjukkan ketidakpatuhan terhadap perintah pengadilan, yang pada akhirnya membuatnya pantas dijatuhi hukuman contempt of court.
Implikasi Hukum bagi Arbitrase Internasional
Kasus ini memberikan pelajaran berharga dalam hukum arbitrase internasional, terutama terkait batasan yurisdiksi arbiter. Tindakan sepihak yang dilakukan oleh Stampa menunjukkan perlunya regulasi yang lebih ketat dalam mengatur kewenangan arbitrator. Ini bisa menjadi katalis bagi reformasi dalam sistem arbitrase internasional guna mencegah penyalahgunaan proses arbitrase sepihak di masa depan.Lessons Learned bagi Indonesia
Kasus arbitrase Kesultanan Sulu terhadap Malaysia memberikan beberapa pelajaran berharga bagi Indonesia, terutama dalam menghadapi gugatan arbitrase internasional terkait investasi, perjanjian historis, dan kedaulatan negara. Indonesia sendiri pernah menghadapi kasus serupa dalam arbitrase internasional, seperti Karaha Bodas vs. Indonesia, Churchill Mining vs. Indonesia, dan Newmont vs. Indonesia, yang menyoroti pentingnya ketahanan hukum dalam menghadapi klaim yang merugikan negara.Pertama, Indonesia harus memastikan klausul penyelesaian sengketa dalam perjanjian investasi dan perjanjian historis ditetapkan dengan jelas dan tidak membuka celah bagi arbitrase sepihak.
Kedua, Indonesia perlu menyiapkan strategi defensif terhadap arbitrase yang tidak sah atau dipaksakan secara sepihak. Malaysia menunjukkan bagaimana perlawanan yang konsisten terhadap arbitrase yang tidak sah dapat membatalkan keputusan arbitrator. Indonesia dapat mengambil pelajaran dari kasus ini untuk memperkuat kemampuan hukum domestik dan internasionalnya dalam menolak arbitrase yang tidak memiliki dasar yurisdiksi yang jelas.
Ketiga, diplomasi hukum dan kedaulatan harus menjadi prioritas dalam menghadapi klaim internasional. Malaysia berhasil menghindari pembayaran miliaran dolar kepada ahli waris Kesultanan Sulu berkat strategi hukum yang kuat dan dukungan dari sistem peradilan Prancis. Indonesia juga harus aktif dalam menggunakan jalur diplomasi dan hukum internasional untuk memastikan bahwa tidak ada pihak yang menyalahgunakan mekanisme arbitrase untuk mengajukan klaim yang dapat mengancam kepentingan nasionalnya.