GalaPos ID, Jakarta.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melakukan operasi modifikasi cuaca (OMC) di sejumlah wilayah rawan banjir, termasuk Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Upaya ini dilakukan guna mengurangi potensi curah hujan ekstrem dan mencegah bencana hidrometeorologi saat puncak musim hujan.
Langit Jawa dan Jakarta kini bukan sekadar menurunkan hujan—ia sedang “diatur”. Sejak akhir Oktober, pesawat-pesawat BMKG melesat menabur garam di awan. Namun, di balik niat mulia mencegah bencana, sejumlah pakar mempertanyakan: apakah kita tengah mengorbankan keseimbangan alam demi cuaca yang “terkendali”?
Baca juga:
- Satgas Damai Cartenz Buru Pelaku Penganiayaan di Yahukimo
- Petani vs Korporasi, DPRD Batu Bara Soroti Sengketa Lahan PT Socfindo
- Bukan Hanya Banjir, Pohon Tumbang Kini Jadi Ancaman Baru Jakarta
Gala Poin:
1. BMKG intensif melakukan OMC di wilayah rawan banjir sejak akhir Oktober 2025.
2. Operasi dinilai efektif, namun menimbulkan kekhawatiran atas dampak lingkungan, sosial, dan etika.
3. Diperlukan regulasi dan transparansi publik agar intervensi cuaca tidak berbalik menjadi bumerang ekologis.
Direktur Operasional Modifikasi Cuaca Budi Harsoyo menjelaskan, operasi tersebut telah dimulai sejak 23 Oktober 2025 dan masih berlangsung hingga awal November.
“Di Jawa Tengah, operasi sudah dilakukan sejak 25 Oktober dengan posko di Semarang dan Solo. Sementara di Jawa Barat, operasi dimulai 23 Oktober dengan posko di Jakarta,” ujar Budi dalam keterangan yang diterima GalaPos ID, Sabtu, 1 November 2025.
Menurutnya, hingga kini telah dilakukan 41 sorti penerbangan di wilayah Jawa Tengah menggunakan dua pesawat Cessna Caravan, serta 29 sorti penerbangan di Jawa Barat dengan satu pesawat serupa.
“Hasilnya cukup efektif dalam menurunkan curah hujan dan meredistribusi awan hujan di wilayah target,” jelasnya.
Baca juga:
Sekolah, Jualan dan Doa Jadi Satu: Kisah Zulfa Garut
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menekankan pentingnya sinergi antar lembaga dalam menghadapi potensi cuaca ekstrem di masa puncak musim hujan.
“BMKG, BNPB, dan pemerintah daerah harus memperkuat sistem peringatan dini serta koordinasi di lapangan agar langkah antisipatif bisa dilakukan cepat dan terarah,” kata Dwikorita.
Namun, di balik keberhasilan operasi, muncul sejumlah kritik terhadap dampak lingkungan dan sosial modifikasi cuaca.
Pengalihan awan di satu wilayah bisa memicu banjir di daerah lain, sementara penggunaan garam dalam jumlah besar berpotensi merusak tanah pertanian dan mengganggu pasokan air tanah.
![]() |
| Foto: Kepala BMKG Dwikorita Karnawati |
Gangguan pada ekosistem juga menjadi sorotan, di antaranya potensi peningkatan gas rumah kaca dari bahan penyemaian awan, serta penurunan kualitas udara di wilayah operasi.
“Tidak cukup hanya waspada, tapi juga harus siaga dan siap bertindak. Pemerintah daerah perlu menyiapkan jalur evakuasi, tempat pengungsian, serta membersihkan saluran air sebelum hujan turun,” tutur Deputi Bidang Meteorologi BMKG, Guswanto.
Lebih jauh, sejumlah pengamat menilai, tanpa regulasi yang tegas, teknologi ini bisa memicu konflik antarwilayah terkait hak atas air dan ketergantungan jangka panjang pada intervensi cuaca, alih-alih memperkuat konservasi air yang berkelanjutan.
Baca juga:
Hujan Deras Tumbangkan Pohon di Jaksel, Warga Jadi Korban
"BMKG terus melakukan operasi modifikasi cuaca (OMC) di berbagai wilayah guna mencegah banjir dan curah hujan ekstrem. Namun di balik keberhasilan teknis, muncul kekhawatiran soal dampak lingkungan, etika, hingga ketergantungan pada teknologi pengendali langit ini."
#BMKG #ModifikasiCuaca #Lingkungan #GalaPosID #MediaPublikasiIndonesia
.jpeg)
.jpeg)