GalaPos ID, Maros.
Lahan karst yang selama ini dianggap mustahil ditanami, kini berubah menjadi kawasan pertanian produktif berkat tangan-tangan petani muda Gen Z di Desa Bonto Lempangan, Kecamatan Bontoa, Kabupaten Maros.
![]() |
| Petani muda Gen Z di Desa Bonto Lempangan, Kecamatan Bontoa, Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan |
"Mereka bukan taipan, bukan pejabat, bukan pemegang anggaran. Tapi mereka yang mengolah lahan karst tandus menjadi pertanian modern—sementara pemerintah dan kaum kaya lebih sering jadi penonton."
Baca juga:
- Duka Kolektif Ponpes: Di Balik Tahlil, Ada Gugatan
- Korupsi di Kampus, Ketika Ilmu Dijual dan Mantan Rektor Dipenjara
- Khutbah Jumat, Jangan Berharap Tobat di Ujung Usia
Gala Poin:
1. Petani Gen Z mengubah lahan karst menjadi pertanian produktif menggunakan teknologi rakitan sendiri.
2. Mereka bekerja tanpa akses memadai terhadap lahan, modal, dan pelatihan kewirausahaan dari pemerintah.
3. Inisiatif ini membuka mata soal potensi generasi muda dalam ketahanan pangan—tapi siapa yang mendukung mereka secara nyata?
Berbekal semangat dan kreativitas, mereka menyulap batu-batu kapur menjadi ladang hortikultura modern menggunakan sistem polibag, teknologi irigasi tetes, sensor kelembapan, hingga panel surya—semuanya dirakit sendiri secara otodidak.
“Kami analisis dulu tanaman apa saja yang bisa tumbuh di kondisi lahan seperti ini. Setelah itu baru kami tanam, dan ternyata hasilnya sangat memungkinkan,” kata Aldi, salah satu petani muda, Sabtu, 18 Oktober 2025.
Bersama rekan-rekannya dan dibantu oleh Suryadi, perakit teknologi pertanian lokal, mereka berhasil menciptakan sistem pertanian berbasis IoT dan aplikasi pemantau real-time yang murah tapi efektif.
Namun keberhasilan ini tidak bisa dilepaskan dari kenyataan pahit: minimnya peran negara dan dunia usaha dalam mendukung regenerasi petani muda.
Baca juga:
Manfaat Grapeseed Oil untuk Kulit Wajah, Alami dan Ampuh
Mereka bukan pemilik anggaran, bukan elite ekonomi, dan tak punya akses mudah terhadap lahan dan kredit usaha tani.
“Lokasinya memang cukup menantang karena berada di daerah berbatu karst. Tapi dengan pendekatan teknologi yang tepat, kami ingin menjadikan wilayah ini sebagai percontohan pertanian modern,” ujar Suryadi.
Dukungan dari Kementerian Pendidikan Tinggi memang ada, tetapi sebatas untuk riset alat. Pertanyaan pentingnya: di mana pemerintah daerah? Di mana peran korporasi pertanian?
Gen Z ini membuka jalan, tapi mereka tidak bisa berjalan sendiri.
Namun di balik kisah inspiratif ini, terhampar fakta menyakitkan: mereka tetap kesulitan memperoleh akses lahan yang layak, pelatihan kewirausahaan, dan dukungan kebijakan.
Tidak semua pemuda bisa seperti mereka—dan tidak semua lahan bisa ditanami tanpa campur tangan negara.
Gen Z ini menunjukkan bahwa regenerasi petani bisa nyata, tapi mustahil berlangsung masif tanpa kebijakan struktural yang mendukung.
Ketahanan pangan nasional seharusnya tidak dibebankan hanya pada idealisme segelintir anak muda.
Baca juga:
Tawuran Gagal, Senjata Tajam Berserakan di Pauh
"Petani muda di Maros buktikan bahwa ketahanan pangan bukan hanya urusan pemerintah atau pengusaha besar. Bermodal semangat, inovasi, dan teknologi, mereka mengubah lahan tandus jadi ladang produktif. Tapi sampai kapan anak muda harus menanggung beban yang diabaikan negara?"
#GalaPosID #MediaPublikasiIndonesia #Petani #GenZ #KarstJadiProduktif
.jpg)
.jpg)