Tan Malaka: Pejuang Dilupakan, Buronan Dicintai, Dibantai Bangsa Sendiri

GalaPos ID, Jakarta.
Di tengah ketidakpastian politik nasional dan internasional, menarik rasanya menengok kembali sosok revolusioner yang sering kali luput dari perhatian: Tan Malaka. Dialah orang pertama yang membawa istilah Republik Indonesia ke pentas dunia—jauh sebelum Soekarno dan Hatta membacakan teks proklamasi pada 17 Agustus 1945.

Tan Malaka adalah tokoh pertama yang memperkenalkan Republik Indonesia di forum internasional jauh sebelum proklamasi.
Foto IG: malakaproject

“Di tengah ketidakpastian politik nasional dan dunia, menarik membahas satu tokoh revolusioner Indonesia yang hidupnya justru dilupakan sejarah. Dialah Tan Malaka—sang penggagas Republik Indonesia sebelum bangsa ini resmi merdeka.”

Baca juga:

Gala Poin:
1. Tan Malaka merupakan tokoh pertama yang memperkenalkan konsep “Republik Indonesia” ke dunia internasional.
2. Ia hidup sebagai pejuang, buronan, dan intelektual, yang berpindah-pindah negara sambil terus menyuarakan kemerdekaan Indonesia.
3.Meski berjasa besar, Tan Malaka wafat tragis oleh tangan bangsanya sendiri, namun pemikirannya tetap hidup dalam sejarah perjuangan Indonesia.


Tan Malaka bergerak dalam senyap. Ia bukan tokoh yang mencari sorotan.

Namun dari balik layar, ia menyusun strategi, menulis buku, membentuk organisasi massa, ikut bertempur melawan penjajah, hingga akhirnya harus hidup dalam pelarian.

Dalam pelariannya, ia punya lebih dari 20 nama samaran dan aktif di berbagai negara seperti Tiongkok, Filipina, Thailand, Vietnam, hingga Singapura.

Baca juga:
Kadin Proyeksikan Perdagangan Indonesia-AS Tembus USD120 M

Ia bukan hanya tokoh lokal. Di forum-forum internasional, Tan Malaka berpidato lantang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Karena kecerdasan dan kefasihannya berbicara, namanya dikenal di kalangan elite komunis internasional.

Sayangnya, itu juga membuatnya masuk daftar hitam interpol dari negara-negara kolonial seperti Amerika Serikat, Inggris, Prancis, dan Belanda.

Namanya dicintai oleh para pejuang awal kemerdekaan, tetapi juga diburu oleh polisi internasional.

Keteguhannya dalam prinsip membuatnya menolak kompromi apa pun terhadap penjajah.

Baca juga:
Dendam Makanan, Nyawa Melayang: Adik Aniaya Kakak

Baginya, kemerdekaan harus 100 persen, tanpa tawar-menawar.

Itulah sebabnya, Tan Malaka menolak berdialog dengan mereka yang selama ratusan tahun telah menjarah kekayaan bangsa.

Namun, keyakinannya itu justru membawa ironi.

Setelah seluruh hidupnya diabdikan untuk kemerdekaan Indonesia, ia justru tewas oleh peluru bangsanya sendiri dalam sebuah eksekusi saat revolusi masih berkecamuk.

Tan Malaka merupakan tokoh pertama yang memperkenalkan konsep “Republik Indonesia” ke dunia internasional.

Dari Surau Kecil di Minangkabau
Tan Malaka lahir pada 2 Juni 1897 di Pandan Gadang, Suliki, wilayah yang kini menjadi bagian dari Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat.

Nama aslinya adalah Ibrahim. Karena ia berasal dari keluarga bangsawan, ia mendapat gelar lengkap Sultan Ibrahim Gelar Datuk Tan Malaka.

Ayahnya, H. M. Rasad Chaniago, adalah seorang mantri kesehatan, sementara ibunya, Rangkayo Sinah Simabur, berasal dari keluarga terpandang di kampungnya.

Baca juga:
Ribuan Lampion Hiasi Langit Borobudur di Malam Waisak 2025

Keluarga ini menganut Islam secara puritan dan membesarkan Tan Malaka dalam lingkungan yang sangat religius.

Sejak usia lima tahun, Tan Malaka sudah tinggal di surau (masjid kecil) dan menghafal Al-Qur'an. Ia juga belajar pencak silat dan menonjol sebagai anak yang cerdas, berani, dan tekun.

Pada usia sebelas, ia masuk Kweekschool (sekolah calon guru) di Fort de Kock (kini Bukittinggi). Di sana, ia bersinar sebagai murid yang menonjol, terutama dalam pelajaran bahasa Belanda.

Salah satu gurunya, G. Horensma, melihat bakat besar Tan Malaka dan mendorongnya untuk melanjutkan pendidikan ke Belanda.

Berkat bantuan gurunya dan dukungan warga kampung, Tan Malaka akhirnya diterima di Rijkskweekschool (sekolah kejuruan guru kerajaan) di Haarlem, Belanda.

Baca juga:
11 Ribu Jemaah Lansia Tiba di Madinah, KKHI Perkuat Layanan Kesehatan

Perjuangan di Negeri Penjajah
Tahun 1913, Tan Malaka berangkat ke Belanda. Di sana, ia mendalami filsafat, ekonomi, dan ilmu sosial. Namun perjuangan tidak mudah. Iklim dingin Eropa yang ekstrem membuatnya terserang pleuritis (radang selaput dada).

Ia harus berjuang melawan penyakit sambil menyelesaikan pendidikan di tengah Perang Dunia I.

Dalam buku otobiografinya Dari Penjara ke Penjara, ia menulis bagaimana kesehatannya memburuk dan hidupnya semakin sulit.

Ia tinggal di loteng kecil yang pengap, makan seadanya, dan menolak mengenakan pakaian tebal.

Tan Malaka, Republik, dan Sebuah Nama yang Terlupakan

Namun di balik penderitaan itu, ia menyerap gagasan besar yang berkembang di Eropa—terutama sosialisme dan komunisme yang kala itu digandrungi kalangan buruh dan intelektual.

Ia juga menyaksikan langsung ketimpangan sosial akibat revolusi industri.

Keluarga buruh tempat ia menumpang tinggal memperlihatkan kepadanya realitas hidup kelas pekerja. Dari sana, simpatinya terhadap perjuangan rakyat kecil semakin tumbuh.

Ia mulai menulis, menyusun strategi, dan memperjuangkan ide-idenya untuk membebaskan rakyat Indonesia dari penjajahan.

Baca juga:
Visa Salah, 30 WNI Terjaring Razia Haji di Makkah

Hidup dalam Pelarian, Mati dalam Pengkhianatan
Setelah kembali ke tanah air, Tan Malaka terlibat aktif dalam berbagai organisasi pergerakan dan bahkan sempat ditangkap dan dibuang oleh pemerintah kolonial.

Namun perjuangannya tidak pernah berhenti. Ia bergerak dari satu negara ke negara lain, menjadi simbol perlawanan dan ikon perjuangan kelas tertindas.

Namun setelah Indonesia merdeka, perjuangan panjang Tan Malaka justru diakhiri dengan peluru di dada.

Baca juga:
Rampok Satpam Pakai Sajam, Pelaku Ditangkap Saat Minum Tuak

Dalam gejolak revolusi, ia dianggap ancaman oleh kelompok lain di tengah ketegangan politik pasca kemerdekaan. Ia dieksekusi tanpa proses pengadilan yang layak.

Tan Malaka bukan tokoh yang haus pengakuan. Ia berjuang tidak untuk dikenang, melainkan untuk memerdekakan.

Namun kini, seiring waktu, semakin banyak anak bangsa yang mulai menggali kembali pemikiran dan perjuangannya.

Mengenang Tan Malaka bukan soal nostalgia sejarah. Ini soal menghargai orang yang memberi segalanya untuk kemerdekaan, bahkan nyawanya—meski akhirnya dibayar dengan pengkhianatan dari bangsa yang ia bela sampai akhir hayatnya.


Baca juga:
Target 80 Ribu Koperasi, Satgas Kopdes Merah Putih Dibentuk

“Tan Malaka, tokoh revolusioner yang terlupakan, mengangkat nama Republik Indonesia ke dunia internasional jauh sebelum proklamasi. Ia menjadi buronan internasional karena perjuangan totalnya demi kemerdekaan. Ini kisah hidupnya dari surau kecil di Minangkabau hingga panggung politik dunia.”

#TanMalaka #SejarahIndonesia #PahlawanRevolusi #RepublikIndonesia #PejuangKemerdekaan #GalaPosID #MediaPublikasiIndonesia