Dilema Utang Jokowi dan Prospek Ekonomi di Tangan Prabowo Subianto

GalaPos ID, Jakarta.
Pemerintahan Prabowo Subianto dinilai akan menghadapi tantangan besar dalam mengelola beban utang warisan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Hal tersebut terungkap dalam diskusi Forum Guru Besar dan Doktor Insan Cita yang bertajuk "Warisan Utang Jokowi dan Prospek Pemerintahan Prabowo" pada Minggu, 15 September 2024.


Diskusi yang dipandu oleh Dr. Noval Adib ini menampilkan sejumlah narasumber, antara lain Awalil Rizky, Dr. Tauhid Ahmad, Eisha Maghfiruha Rachbini, Ph.D., dan Prof. Tika Widiastuti.

Diskusi dibuka oleh Prof. Didik J. Rachbini, yang memberikan pandangan kritis terhadap kebijakan utang pemerintah saat ini. Jika kebijakan utang tidak berubah secara signifikan, Indonesia berisiko mengalami krisis ekonomi yang lebih parah.



Prof. Didik J. Rachbini menekankan perbedaan mendasar antara utang negara dan utang privat. Menurutnya, utang privat sepenuhnya menjadi tanggung jawab pribadi, tanpa mempengaruhi kebijakan publik. Namun, ketika negara berutang, keputusan tersebut berdampak besar terhadap berbagai sektor, seperti pendidikan dan anggaran daerah.

"Keputusan pemerintah untuk mengambil utang dalam jumlah besar mempengaruhi berbagai aspek anggaran, seperti pendidikan dan alokasi untuk daerah," ungkap Prof. Didik.

Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa selama masa pemerintahan Presiden Jokowi, tidak ada pengawasan yang memadai dari DPR dan lembaga lain, sehingga utang negara terus membengkak hingga mencapai hampir Rp10 ribu triliun. Menurut Prof. Didik, pemerintahan Prabowo akan mewarisi utang ini dan perlu berhati-hati agar tidak memperparah kondisi ekonomi.



Sementara, dalam krisis fiskal dan kebijakan jokowi Dr. Eisha M. Rachbini menguraikan alasan di balik meningkatnya defisit fiskal sejak 2015 hingga 2023. Ia menekankan bahwa ketidakseimbangan antara belanja dan penerimaan negara menyebabkan defisit yang semakin besar.

"Defisit ini diperparah oleh pandemi, di mana pendapatan negara tidak mampu mengimbangi pengeluaran," jelas Dr. Eisha.

Lebih lanjut, ia menyoroti bahwa penerimaan pajak, meski sempat membaik pada 2021-2023 akibat booming komoditas global, masih jauh di bawah target. Dr. Eisha juga mengungkapkan bahwa porsi utang negara lebih banyak digunakan untuk membayar bunga utang daripada investasi produktif.



Disisi lain, Dr. Tauhid Ahmad turut menyoroti prospek pemerintahan Prabowo kedepan. Ia membahas arah kebijakan ekonomi pemerintahan Prabowo yang menargetkan pertumbuhan ekonomi 6-7%, bahkan hingga 8%. Namun, ia mengingatkan bahwa target tersebut terlalu ambisius mengingat kondisi saat ini.

"Meski ada perubahan kebijakan dari infrastruktur ke pengembangan SDM, target pertumbuhan ekonomi sebesar 7% akan sulit tercapai," ujar Dr. Tauhid.

Ia juga menekankan pentingnya kebijakan perpajakan yang lebih efektif untuk mendukung target pertumbuhan ekonomi. Menurutnya, dengan kondisi perpajakan saat ini, target penerimaan pajak hingga 2029 mungkin tidak akan tercapai.



Tantangan Besar Pemerintahan Baru.
Diskusi ini menyoroti tantangan besar yang akan dihadapi pemerintahan Prabowo dalam mengelola warisan utang dari era Jokowi.

Para narasumber sepakat bahwa diperlukan kebijakan fiskal yang lebih hati-hati dan pengelolaan utang yang lebih bijaksana agar Indonesia tidak terjerumus ke dalam krisis ekonomi yang lebih dalam.